Jika Politik TGB Bukan untuk Islam, Semoga Ada TGB Baru !



Seringkali umat Islam tidak arif menyikapi lawan politik. Mereka mengganggap lawan politik sebagai musuh. Bahkan kadang ada tuduhan munafik atau kafir. Padahal, lawan politiknya sama-sama muslim. Sama-sama shalat, sama-sama membaca dua syahadat.

Oleh karenanya, mungkin perlu bagi kita menengok sejarah Islam. Pada masa sahabat Rasulullah, tepatnya ketika Sayyidina Ali menjadi Khalifah, umat Islam sudah terpecah. Satu ada di kubu Sayyidina Ali, satu lagi ada di kubu Sayyidina Mu’awiyah. Keduanya sama-sama sahabat Rasulullah, sama-sama baik, tapi berbeda dalam langkah politik.


 Perbedaan yang menyebabkan mereka berdua terpecah adalah pandangan mengenai pembunuh Sayyidina Ustman. Sayyidina Ustman adalah khalifah Rasulullah yang nomer tiga. Beliau terbunuh oleh kekejaman pemberontak. Konon, pemberontakan itu dikobarkan oleh Ibnu Saba’, orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam.

Setelah Sayyidina Ustman wafat, umat Islam meminta Sayyidina Ali menjadi khalifah. Dengan berat hati, Sayyidina ‘Ali menerimanya. Umat Islam membaiat beliau. Tapi, Sayyidina Mu’awiyah tidak membaiat. Sayyidina Muawiyah mau berbaiat setelah Sayyidina ‘Ali menyerahkan pembunuh Sayyidina Ustman untuk diadili.

Sedangkan Sayyidina ‘Ali berpandangan berbeda dengan Sayyidina Muawiyah. Menurut Sayyidina ‘Ali, umat Islam bersatu dulu, artinya Sayyidina Muawiyah membaiat Sayyidina ‘Ali dulu, baru setelah itu bersama-sama mengadili pembunuh Sayyidina Ustman. Karena pembunuh Sayyidina Ustman memiliki massa yang sangat banyak.

Sayyidina Muawiyah tetap berdiri pada pendapatnya. Sayyidina ‘Ali juga tetap berpegang pada pendapatnya. Singkat cerita, terjadilah peperangan diantara keduanya. Banyak para sahabat dan tabiin yang terbunuh. Perang saudara benar-benar terjadi kala itu.

Menurut para ulama, keduanya sama-sama benar. Karena hal itu lahir dari sebuah ijtihad. Dan Ijtihad jika benar maka mendapat dua pahala, jika salah mendapat satu pahala. Akan tetapi, yang paling mendekati kebenaran adalah Sayyidina ‘Ali. Karena Sayyidina ‘Ali adalah pemerintah yang sah.

Namun demikian, jika kita membaca sejarah lebih lengkap, betapa unik pertengkaran diantara mereka. Mereka sama-sama mengakui kehebatan lawan politik mereka. Sama-sama mengakui kesalehan lawannya. Tidak menuduh lawan sebagai orang munafik apa lagi kafir.

Berikut bukti sejarah, sikap Sayyidina Muawiyah dalam menyikapi lawan politik beliau.

1.     Mengakui keutamaan Sayyidina Ali

Suatu ketika, Abu Muslim Al-Khaulani disertai masyarakat mendatangi Sayyidina Mu’awiyah. Mereka bertanya, “Engkau bertengkar dengan Sayyidina ‘Ali, apakah engkau merasa kalau engkau selevel dengan Sayyidina ‘Ali ?”

Mendengar pertanyaan itu, Sayyidina Mu’awiyah langsung menjawab, “Oh tidak demi Allah. Sungguh, saya tahu Sayyidina ‘Ali itu lebih utama dariku. Dia juga lebih berhak terhadap urusan (menjadi khalifah) ini.

Akan tetapi, bukankah kalian sudah tahu, Sayyidina Ustman terbunuh dalam keadaan didzalimi. Sedangkan saya adalah sepupunya. Saya hanya menuntut darah Sayyidina Ustman. Coba datangi dia, bilang padanya, serahkan pembunuh Sayyidina Ustman, maka saya akan menyerah.[1]

2.     Mengakui bahwa Sayyidina ‘Ali Makhluk Pilihan

Sahabat Jabir bercerita bahwa suatu ketika dia bersama Sayyidina Muawiyah. Lalu, ada yang menyebut nama Sayyidina Ali. Sayyidina Mu’awiyah pun menyebut nama sayyidna Ali, Ibu, dan Ayah Sayyidina Ali dengan sebaik-baiknya.

Setelah itu, Sayyidina Muawiyah berakata, “Bagaimana aku tidak mengakatakan hal ini untuk Sayyidina Ali dan keluarganya. Mereka memang pilihan makhluk Allah. Begitu juga anak-anak mereka.[2]

3.     Mengakui Sayyidina ‘Ali lebih ‘Alim

Sayyidina Muawiyah juga mengakui bahwa Sayyidina ‘Ali lebih alim dari beliau. Suatu ketika, ada orang datang kepada Sayyidina Muawiyah dan menanyakan sebuah masalah.

Sayydina Muawiyah langsung mengatakan, “Coba tanya ke Sayyidina Ali. Dia lebih tahu dariku.”
Orang itu tidak mau. Orang itu lebih senang mendapat jawaban dari Sayyidina Muawiyah. Maka, Sayyidina Muawiyah mengata-ngatainya.

Kata beliau, “Betapa jelek perkataanmu, betapa jelek apa yang kau bawa. Engkau ini tidak mau pada seseorang dimana Rasulullah mengakui kealimannya. Sungguh Rasululah pernah berkata tentang Sayyidina Ali, “Posisimu dariku layaknya posisi Harun dari Musa”[3].”

4.      Mengucapkan Istirja’ ketika Sayyidina ‘Ali Wafat

Ketika Sayyidina ‘Muawiyah mendengar kabar wafatnya Sayyidina Ali, beliau mengucapkan istirja’. Innalillahi Wa Inna Ilaihir Roji’un, kata Sayyidina Muawiyah. “Orang-orang telah kehilangan ilmu, keutamaan, dan kebaikan,” lanjutnya.[4]

Sayyidina ‘Ali Menganggap Lawan Politik Sebagai Saudara

Adapun Sayyidina ‘Ali, tetap menganggap orang-orang yang memerangi beliau sebagai saudara. Saudara seiman. Tidak pernah beliau menuduh lawannya sebagai munafik atau kafir.

Contohnya, suatu ketika beliau ditanya tentang orang-orang Nahrawan, apakah orang-orang Nahrawan itu musyrik ? Sayyidina ‘Ali menjawab, “Tidak. Malah mereka lari dari kemusyrikan”.
Lalu apakah orang-orang Nahrawan itu munafik ? Sayyidina Ali menjawab, “Tidak. Karena orang munafik itu tidak ingat Allah kecuali sedikit.”

Baca Juga : Cadar itu Pakaian Rahmatan Lil ‘Alamin


Lalu, bagaimana dong wahai Amirul Mu’minin ? Sayyidina Ali menjawab, “Mereka itu saudara kita. Tapi mereka membangkang kepada kita.[5]

Orang Nahrawan pertamanya berada dalam kubu Sayyidina ‘Ali. Tapi karena mereka kecewa terhadap keputusan Sayyidina ‘Ali yang berupa tahkim, mereka memisahkan diri. Mereka membangun kelompok sendiri. Anggaplah kalau di Indonesia, mendirikan partai sendiri. Kemudian, terjadilah peperangan antara mereka dan Sayyidina Ali.

***

Begitulah para sahabat menyikapi lawan politiknya yang sesama muslim. Mereka menganggap lawan politik itu saudara seiman, bukan munafik, apa lagi kafir. Mereka juga mengakui kehebatan, kebaikan, dan kelebihan lawan.

Lalu bagaiamana dengan kita ? Bagaimana sikap kita kepada lawan politik kita ? Bagaimana menyikapi TGB Zainul Majdi yang mengubah halauan, misalnya ? Ah, sudahlah !

Kita berdoa saja, jika TGB Zainul Majdi berpolitik bukan untuk kebaikan Islam dan umat muslim, semoga ada TGB baru yang menggantikannya. Amin !

Baca Juga : Agama Bisa Dijalankan Jika Negara Aman dan Tentram


Sumber Foto: https://www.cnnindonesia.com



[1] سير أعلام النبلاء (3/ 140):
[2] تاريخ مدينة دمشق (42/ 415):
[3]  ØªØ§Ø±ÙŠØ® مدينة دمشق (42/ 170)
[4] تاريخ مدينة دمشق (42/ 583):
[5] البداية والنهاية (7/ 321)

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post