Seringkali umat Islam tidak arif menyikapi lawan
politik. Mereka mengganggap lawan politik sebagai musuh. Bahkan kadang ada tuduhan
munafik atau kafir. Padahal, lawan politiknya sama-sama muslim. Sama-sama
shalat, sama-sama membaca dua syahadat.
Oleh karenanya, mungkin perlu bagi kita
menengok sejarah Islam. Pada masa sahabat Rasulullah, tepatnya ketika Sayyidina
Ali menjadi Khalifah, umat Islam sudah terpecah. Satu ada di kubu Sayyidina
Ali, satu lagi ada di kubu Sayyidina Mu’awiyah. Keduanya sama-sama sahabat
Rasulullah, sama-sama baik, tapi berbeda dalam langkah politik.
Perbedaan
yang menyebabkan mereka berdua terpecah adalah pandangan mengenai pembunuh
Sayyidina Ustman. Sayyidina Ustman adalah khalifah Rasulullah yang nomer tiga.
Beliau terbunuh oleh kekejaman pemberontak. Konon, pemberontakan itu dikobarkan
oleh Ibnu Saba’, orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam.
Setelah Sayyidina Ustman wafat, umat Islam
meminta Sayyidina Ali menjadi khalifah. Dengan berat hati, Sayyidina ‘Ali
menerimanya. Umat Islam membaiat beliau. Tapi, Sayyidina Mu’awiyah tidak
membaiat. Sayyidina Muawiyah mau berbaiat setelah Sayyidina ‘Ali menyerahkan
pembunuh Sayyidina Ustman untuk diadili.
Sedangkan Sayyidina ‘Ali berpandangan berbeda
dengan Sayyidina Muawiyah. Menurut Sayyidina ‘Ali, umat Islam bersatu dulu,
artinya Sayyidina Muawiyah membaiat Sayyidina ‘Ali dulu, baru setelah itu
bersama-sama mengadili pembunuh Sayyidina Ustman. Karena pembunuh Sayyidina
Ustman memiliki massa yang sangat banyak.
Sayyidina Muawiyah tetap berdiri pada
pendapatnya. Sayyidina ‘Ali juga tetap berpegang pada pendapatnya. Singkat cerita,
terjadilah peperangan diantara keduanya. Banyak para sahabat dan tabiin yang
terbunuh. Perang saudara benar-benar terjadi kala itu.
Menurut para ulama, keduanya sama-sama benar.
Karena hal itu lahir dari sebuah ijtihad. Dan Ijtihad jika benar maka mendapat
dua pahala, jika salah mendapat satu pahala. Akan tetapi, yang paling mendekati
kebenaran adalah Sayyidina ‘Ali. Karena Sayyidina ‘Ali adalah pemerintah yang
sah.
Namun demikian, jika kita membaca sejarah lebih
lengkap, betapa unik pertengkaran diantara mereka. Mereka sama-sama mengakui
kehebatan lawan politik mereka. Sama-sama mengakui kesalehan lawannya. Tidak menuduh
lawan sebagai orang munafik apa lagi kafir.
Berikut bukti sejarah, sikap Sayyidina Muawiyah
dalam menyikapi lawan politik beliau.
1. Mengakui keutamaan Sayyidina Ali
Suatu ketika, Abu Muslim Al-Khaulani disertai
masyarakat mendatangi Sayyidina Mu’awiyah. Mereka bertanya, “Engkau bertengkar
dengan Sayyidina ‘Ali, apakah engkau merasa kalau engkau selevel dengan
Sayyidina ‘Ali ?”
Mendengar pertanyaan itu, Sayyidina Mu’awiyah
langsung menjawab, “Oh tidak demi Allah. Sungguh, saya tahu Sayyidina ‘Ali itu
lebih utama dariku. Dia juga lebih berhak terhadap urusan (menjadi khalifah)
ini.
Akan tetapi, bukankah kalian sudah tahu,
Sayyidina Ustman terbunuh dalam keadaan didzalimi. Sedangkan saya adalah
sepupunya. Saya hanya menuntut darah Sayyidina Ustman. Coba datangi dia, bilang
padanya, serahkan pembunuh Sayyidina Ustman, maka saya akan menyerah.[1]”
2. Mengakui bahwa Sayyidina ‘Ali Makhluk Pilihan
Sahabat Jabir bercerita bahwa suatu ketika dia
bersama Sayyidina Muawiyah. Lalu, ada yang menyebut nama Sayyidina Ali. Sayyidina
Mu’awiyah pun menyebut nama sayyidna Ali, Ibu, dan Ayah Sayyidina Ali dengan
sebaik-baiknya.
Setelah itu, Sayyidina Muawiyah berakata, “Bagaimana
aku tidak mengakatakan hal ini untuk Sayyidina Ali dan keluarganya. Mereka memang
pilihan makhluk Allah. Begitu juga anak-anak mereka.[2]”
3. Mengakui Sayyidina ‘Ali lebih ‘Alim
Sayyidina Muawiyah juga mengakui bahwa
Sayyidina ‘Ali lebih alim dari beliau. Suatu ketika, ada orang datang kepada
Sayyidina Muawiyah dan menanyakan sebuah masalah.
Sayydina Muawiyah langsung mengatakan, “Coba
tanya ke Sayyidina Ali. Dia lebih tahu dariku.”
Orang itu tidak mau. Orang itu lebih senang
mendapat jawaban dari Sayyidina Muawiyah. Maka, Sayyidina Muawiyah
mengata-ngatainya.
Kata beliau, “Betapa jelek perkataanmu, betapa
jelek apa yang kau bawa. Engkau ini tidak mau pada seseorang dimana Rasulullah
mengakui kealimannya. Sungguh Rasululah pernah berkata tentang Sayyidina Ali, “Posisimu
dariku layaknya posisi Harun dari Musa”[3].”
4. Mengucapkan Istirja’ ketika
Sayyidina ‘Ali Wafat
Ketika Sayyidina ‘Muawiyah mendengar kabar wafatnya
Sayyidina Ali, beliau mengucapkan istirja’. Innalillahi Wa Inna Ilaihir Roji’un,
kata Sayyidina Muawiyah. “Orang-orang telah kehilangan ilmu, keutamaan, dan
kebaikan,” lanjutnya.[4]
Sayyidina ‘Ali Menganggap Lawan Politik Sebagai Saudara
Adapun Sayyidina ‘Ali, tetap menganggap orang-orang
yang memerangi beliau sebagai saudara. Saudara seiman. Tidak pernah beliau
menuduh lawannya sebagai munafik atau kafir.
Contohnya, suatu ketika beliau ditanya tentang
orang-orang Nahrawan, apakah orang-orang Nahrawan itu musyrik ? Sayyidina ‘Ali
menjawab, “Tidak. Malah mereka lari dari kemusyrikan”.
Lalu apakah orang-orang Nahrawan itu munafik ?
Sayyidina Ali menjawab, “Tidak. Karena orang munafik itu tidak ingat Allah
kecuali sedikit.”
Baca Juga : Cadar itu Pakaian Rahmatan Lil ‘Alamin
Lalu, bagaimana dong wahai Amirul Mu’minin ?
Sayyidina Ali menjawab, “Mereka itu saudara kita. Tapi mereka membangkang
kepada kita.[5]”
Orang Nahrawan pertamanya berada dalam kubu Sayyidina ‘Ali.
Tapi karena mereka kecewa terhadap keputusan Sayyidina ‘Ali yang berupa tahkim,
mereka memisahkan diri. Mereka membangun kelompok sendiri. Anggaplah kalau di
Indonesia, mendirikan partai sendiri. Kemudian, terjadilah peperangan antara
mereka dan Sayyidina Ali.
***
Begitulah para sahabat menyikapi lawan politiknya yang
sesama muslim. Mereka menganggap lawan politik itu saudara seiman, bukan
munafik, apa lagi kafir. Mereka juga mengakui kehebatan, kebaikan, dan
kelebihan lawan.
Lalu bagaiamana dengan kita ? Bagaimana sikap kita
kepada lawan politik kita ? Bagaimana menyikapi TGB Zainul Majdi yang mengubah
halauan, misalnya ? Ah, sudahlah !
Kita berdoa saja, jika TGB Zainul Majdi berpolitik
bukan untuk kebaikan Islam dan umat muslim, semoga ada TGB baru yang
menggantikannya. Amin !
Baca Juga : Agama Bisa Dijalankan Jika Negara Aman dan Tentram
Sumber Foto: https://www.cnnindonesia.com
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!