Tangan di Atas Lebih Baik dari Tangan di Bawah

https://dekbowo.files.wordpress.com/2016/01/mau-sedekah-dimana-coba-secara-online-disini.jpg
Sering kali, kita berharap mendapatkan sesuatu dari orang lain. Ingin diperlakukan baik, ingin dihormati, ingin diberi sesuatu yang kita ingini, ingin ini-itu, dan seterusnya. Kita berharap tiada henti. Ketika harapan itu tidak terjadi, kita kecewa setengah mati. Bahkan, menggerutu dan membenci. Jika harapan itu terjadi, kita menghormatinya luar biasa. Seakan tidak ada orang baik lagi selain dia. Lalu, benarkah Islam mengjarkan demikian?

Islam tidak mengjarakan pemeluknya untuk memiliki jiwa kerdil seperti itu. Jiwa ‘berharap’ sama dengan peminta-minta. Meminta-minta dalam pandangan islam adalah hal yang hina. Banyak hadis nabi yang mengecam tindakan itu. Islam menginginkan umatnya berjiwa besar, berjiwa ‘di atas’, dan berjiwa pemberi. Dalam sebuah hadis yang cukup populer Rasulullah bersabda:


اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا المُنْفِقَة والسُفْلى السَائِلَة
“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Tangan di atas adalah pemberi, tangan di bawah adalah peminta.” (HR. Bukhari Muslim)

Dari sabda Rasulullah di atas, kita tahu bawah Rasulullah ingin umatnya menjadi orang “atas” bukan orang “bawah”. Menjadi pemberi, bukan peminta. Pemberi itu mulia, sedangkan peminta itu hina. Bagaimana kalau tidak punya? Tidak bolehkah meminta-minta? Pembahasan sekarang bukan boleh dan tidak boleh, tapi mulia dan tidak mulia. Meminta-meminta memang kadang dimaklumi, ketika dalam kondisi tertentu.

Meski demikian, menjadi peminta-minta tetap disayangkan. Menurut Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bari, ada empat kondisi manusia dalam hal memberi dan menerima. 1) Menjadi pemberi. Kondisi ini sangat mulia. 2) Menjadi peminta. Profesi ini menurut banyak hadis adalah sufla (rendahan/hina). 3) Tidak mau menerima walaupun orang lain sudah menjulurkan tangan untuk memberinya. Kondisi ini mulia secara maknawi (abstrak). 4) Menerima ketika diberi, tanpa meminta-minta. Kondisi ini kadang mulia kadang tidak. Sesuai situasi dan kondisi.

Senada dengan komentar Imam Ibnu Hajar di atas, adalah pendapat Imam Nawawi. Menurut beliau pemberi lebih mulia dari penerima yang tidak meminta. Penerima yang tidak meminta lebih baik dari pada orang yang meminta-minta.

Dari dua pemaparan di atas, kita yakin bahwa berjiwa “di atas” adalah jiwa yang perlu diperjuangkan. Sebab, jiwa “di atas” merupakan cita-cita Islam. Kita tanamkan dalam hati, lebih baik berharap menjadi pemberi dari pada berharap menjadi peminta. Sebaliknya, kita jauhi jiwa ‘di bawah’, jiwa peminta-minta. Jiwa peminta-minta tidak diinginkan oleh nabi kita.

Selain itu, Misbhul Huda menyebutkan dalam bukunya, “Mission Ini Possible” bahwa sebenarnya prinsip hidup adalah memberi bukan menerima. Beliau menulis, “Hakikat keseimbangan menuturkan, memberi sama dengan menerima, pemberi terbaik biasanya juga akan menjadi penerima terbaik, karena prinsip hidup sebenarnya adalah memberi bukan menerima.”

Gampangnya, jika kita memberi, suatu saat kita akan menerima. Sama dengan bunyi pepatah, “Siapa yang menanam, dia yang menuai.” Tentu, maksud memberi di sini dalam arti secara luas. Bukan hanya pemberian materi saja. Misalnya, berbagi ilmu itu memberi. Bekerja dengan optimal di kantor juga memberi. Belajar dengan sungguh-sungguh itu memberi. Dan seterusnya. Jika kita sudah ‘memberi’, suatu saat kita akan menuai.

Mungkin, statement ini sama dengan hadis Rasulullah sebagai berikut. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menghilangkan sebuah kesusahan dari kesushan dunia seorang muslim maka Allah akan menghilangkan kesusahan darinya di hari kiamat. Barang siapa yang menggampangkan orang melarat di dunia maka Allah akan menggampangkannya di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi (kejelekan) seorang muslim maka Allah akan menutupi (kejelekannya) di dunia dan akhirat. Allah akan selalu membantu hambanya selagi hamba itu membantu saudaranya.” (HR. Imam Turmudzi)

Bahwa Allah akan selalu membantu seorang hamba selagi dia membantu saudaranya. Tak heran, kadang kita mendapatkan apa yang kita inginkan setelah kita membantu mewujudkan keinginan orang lain. Setelah membantu, ada saja jalan menuju kesuksesan kita.

Meski demikian, ketika memberi kita tidak berharap untuk diberi. Sebab jika seperti itu maka kita masih menjadi pengharap. Masih memiliki jiwa peminta-minta. Kita memberi karena memang Islam memerintah memberi. Kita berjiwa ‘di atas’ karena Islam yang memerintah begitu. Artinya, apa yang kita ulurkan untuk orang lain itu semata-mata karena Allah. Kalau pun nanti kita mendapatkan imbalan, itu bonos. Bukan tujuan kita. Sebab tujuan kita adalah rida Allah dan pahala-Nya. Bukan ‘keindahan’ di dunia.

Kalau kita baca cerita para sufi, pemberian yang dibalas di dunia justru membuat mereka besedih. Menangis tersedu-sedu. Seperti yang terjadi pada seorang kiai dari Pasuruan, Kiai Cholil Nawawi Sidogiri. Pernah suatu ketika beliau bersedekah sarung, tak lama kemudian ada orang bersedekah sarung 10 helai kepada beliau. Beberapa hari kemudian beliau bersedekah, kemudian ada orang yang mengantarkan barang yang sama dengan jumlah yang lebih besar. Hal itu tidak membuat Kiai Cholil bahagia. Bahkan membuat beliau menangis. “Saya takut, balasan Allah itu diberikan kepada saya di dunia saja, sementara di akhirat nanti saya tidak mendapatkan apa-apa,” dawuh beliau sambil menangis.


Maka, Jika selama ini kita sering berharap mendapat sesuatu dari orang lain, kita perlu merubah mindnset kita itu. Sebab, Rasulullah tidak ingin kita menjadi pengharap apa lagi peminta-minta. Yang Rasulullah inginkan adalah kita menjadi pemberi, berjiwa besar, dan menjadi ‘tangan di atas’. Namun, ketika kita memberi,  kita niati karena Allah. Bukan karena ingin dibalas, atau yang lain.

Baca juga : Kisah Singkat Kiai Cholil Nawawi Sidogiri

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post