Misterius! Kiai Bahar Sidogiri 'Diusir' oleh Syaichona Cholil Bangkalan


Kiai Bahar mondok di Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri PP Lirboyo, Kediri.
Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya.

Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya. Alkisah, ketika Kiai Bahar mondok di pesantren Syaichona Cholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Kiai Cholil.

Syaichona Cholil Bangkalan/Wikipedia



Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Kiai Cholil keluar membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.

Kata beliau, “Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!).”
Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya.

Lalu Kiai Cholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau, “Ayuh keluar wek-duwek!”  (Ayo keluar duadua!), bentak Kiai Cholil yang terkenal keras itu.
Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Kiai Cholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”

“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),”  jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.

“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang  bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.

Segara semua santri—yang waktu itu berjumlah 20 orang— mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya karena merasa bersalah dengan mimpi yang beliau alami.

Akhirnya beliau ditemukan dan segera dibawa ke hadapan Kiai Cholil. Dengan berterus terang, Kiai Bahar menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi saya cuma mimpi!).”

Setelah mendengar penuturan santrinya itu, Syaichona Cholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohonpohon bambu (barongan) di belakang dalem dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.

“Setiah be’en e tindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! 

Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.
Dalam riwayat lain, Syaichona mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus sudah selesai!).” 

Ajaib, ternyata Kiai Bahar bisa merampungkannya setengah hari.  Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Kiai Cholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya.

Kiai Cholil yang melihatnya menghadap, bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”
Si santri menjawab  singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi. 

Setelah itu, Kiai Cholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang.

Ternyata sang kiai menyuruhnya menghabiskan nasi-nasi itu.
“Setiah, riyyah kakan petadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak epetadek, e pedhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!)” perintahnya dengan mengancam.

Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan nasi-nasi itu sampai habis dalam waktu singkat. 
Setelah selesai, Kiai Cholil membawanya ke ruang lain yang penuh dengan aneka buah-buahan. “Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habiskan ini!)” perintah beliau.

Segeralah Bahar melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.

Setelah itu, ia diajak keluar dari ruangan oleh Kiai Cholil dengan menangis. Bahar tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.

”Tang elmoh la epetadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh mole (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah, pulanglah kamu!)” kata Kiai Cholil kepada Bahar seraya mengusap air matanya.

Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Kiai Cholil.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Kiai Cholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoniin pole (Saya mencari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).”

Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Kiai Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Kiai Cholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu.

Setelah itu Kiai Cholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.  Saat Kiai Bahar pulang ke Sidogiri, Kiai Cholil mengikutsertakan tujuh santrinya dari Madura untuk menjadi santri Kiai Bahar.

Masa mondok Kiai Bahar pada Kiai Cholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah “diusir” Kiai Cholil, Kiai Bahar langsung menjadi Pengasuh PPS.

Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Kiai Cholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”

~Sumber: Jejak Langkah 9 MASYAYIKH SIDOGIRI 2, hal. 141-145

*Tulisan ini diambil dari halaman FB Laz Sidogiri dengan judul KIAI BAHAR SIDOGIRI MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL MENANGlIS

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post