3 Dalil Maulid Nabi dari Alquran dan Hadis

Sumber foto: https://www.tasdiqulquran.or.id/hikmah/lapangnya-hati-nabi-saw/


Maulid Nabi adalah kegiatan yang dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal. Kegiatan yang bertujuan memperingati hari kelahiran Nabi Muhmmad saw. ini, diselenggarakan di seluruh negara mayoritas muslim. Caranya pun berbeda-beda. Tergantung adat-istiadat setempat.

Kalau di Indonesia, Maulid Nabi diselenggarakan dengan format pengajian umum, ada juga dengan cara sederhana. Cuckup mengundang tetangga. Membaca dzikir, salawat, dan do’a bersama. Lalu makan bersama.

Akan tetapi, ada sebagian kelompok Islam yang tidak mau merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw. ini. Kelompok ini dikenal dengan nama Wahabi atau Salafi. Mereka mengatakan maulid nabi itu bid’ah. Tidak boleh dilakukan. Nabi Muhammad tidak pernah melakukan ritual yang seperti itu. Begitu juga para sahabat beliau.


Jika kita mengatakan bawha memperingati Maulid Nabi itu sebagai bentuk cinta kita kepada beliau, mereka tidak akan terima. Mereka akan mengatakan, mencintai nabi bukan dengan melakukan Maulid Nabi, tapi dengan mengikuti sunah beliau.

Sejenak, perkataan Wahabi itu benar. Kalau cinta Rasulullah, ikuti sunah beliau. Bukan dengan melakukan Maulid Nabi. Akan tetapi, kalau dipikir ulang, perkataan mereka itu menunjukkan kekakuan mereka dalam memahami nash al-Qur’an maupun Hadis. Sebab, secara tersirat, dalil Maulid Nabi dapat kita temukan dalam al-Qur’an dan Hadis.

Setidaknya, ada tiga dalil yang sangat kuat bahwa Maulid Nabi itu mengikuti al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw.. Dalil-dalil itu sebagaimana berikut:

3. Rasulullah berpuasa pada hari Senin karena pada hari itu beliau dilahirkan

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari senin. Beliau menjawab, “ (Hari) itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku[1]”

Jadi, pada hari senin Rasulullah berpuasa sunah. Kenapa berpuasa? Karena pada hari itu Rasulullah dilahirkan. Secara tidak langsung, beliau memperingati hari lahir beliau sendiri.

Menurut Syaikh Abul Hasan Ubaidillah, dalam kitabnya, Mir’âh al-Mafâtîh Syarh Misykâh al-Mashâbîh, setidaknya ada tiga poin yang bisa disimpulkan dari hadis di atas. Pertama, zaman dan tempat bisa menjadi mulia karena peristiwa yang terjadi di dalamnya. Kedua, menunjukkan disunahkannya berpuasa pada hari senin. Ketiga, hadis di atas juga menunjukkan keharusan kita untuk memuliakan hari yang pada hari itu Allah swt. memberikan nikmat pada hamba-Nya dengan cara berpuasa dan mendekatkan diri kepada-Nya[2].

Dengan demikian, tidaklah salah jika kita merayakan Maulid Nabi (kelahiran Rasulullah saw) dengan beribadah, seperti membaca shalawat, membaca Alquran, dan bersedekah. Karena kelahiran beliau merupakan nikmat yang paling agung.

Imam Suyuthi juga mengatakan ketika mengomentari hadis di atas bahwa sudah seharusnya bagi kita untuk memulikan dan mengagungkan Bulan Maulid Nabi (Rabiul Awal) sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi Muhammad saw..

Sebab, beliau telah menghususkan hari Senin untuk menambah dan memperbanyak amal baik. Beliau memuliakan hari senin karena pada hari itu beliau dilahirkan. Memuliakan hari kelahirannya, berarti juga memuliakan bulan kelahirannya[3].

2. Rasulullah berakikah untuk dirinya sendiri padahal beliau sudah diakikahi

Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah berakikah untuk dirinya setelah kenabian. Padahal, kakek beliau, Abdul Muthallib sudah mengakikahi beliau pada hari ketujuh dari kelahiran beliau. Kenapa Rasulullah saw. masih berakikah untuk diri beliau? Bukankah akikah itu cukup satu kali?

Imam Suyuthi mengatakan, Rasulullah saw. berakikah yang kedua kalinya sebagai bentuk syukur karena Allah telah menciptakan diri beliau sebagai rahmat untuk segenap alam. Juga sebagai tasyri’ (mensyari’atkan) pada umatnya.

Oleh karena itu, disunahkan bagi kita menampakkan syukur atas lahirnya baginda Nabi Muhammad saw.. Hal itu bisa dengan berkumpul bersama, menyedekahkan makanan, dan ibadah-ibadah lain[4]. 


 3. Bersholawat kepada Rasulullah adalah perintah dari Allah swt

Dalam acara Maulid Nabi, sangat sarat sekali dengan pembacaan sholawat. Tentu, membaca sholawat tidak pernah dilarang oleh Rasulullah saw.. Bahkan, beliau memberi iming-iming pahala yang begitu besar bagi orang yang bersholawat kepada beliau.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang bersholawat kepadaku satu kali, Allah akan bersholawat kepadanya sepuluh kahli serta sepuluh kejelekannya akan dikurangi.” (HR. An-Nasa’i)

Allah swt. juga berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Dari ayat ini, Imam Zamahsyari mengatakan bahwa membaca sholawat itu wajib. Hanya saja, ulama berbeda pendapat waktu membacanya. Ada yang mengatakan ketika nama Nabi Muhammad disebut, wajib bagi yang mendengar untuk membaca sholawat. Ada yang mengatakan wajib mengucapkan sholawat ketika ada perkumpulan.

Ada pula yang mengatakan wajib membaca sholawat satu kali seumur hidup. Adapun pendapat yang paling hati-hati adalah pendapat yang mengatakan bahwa wajib membaca sholawat ketika nama Nabi Muhammad diucapkan[5].

Alakullihal, sudah semestinya bagi kita untuk terus menggalakkan acara Maulid Nabi. Maulid Nabi adalah salah satu cara membuktikan cinta kita kepada Nabi Muhmmad saw.. Sebab, memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. termasuk mengikuti sunah-sunah beliau.

-------------------------------------------------------------------------
[1] An-Nisaburi, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim, Sahih Muslim, Juz: 3, hal: 167, Dar al-Jayl, Beirut, Lebanon.
[2] Al-Mubarakfuri, Abul Hasan Ubaidillah bin Muhammad Abdussalam, Mir’âh al-Mafâtîh Syarh Misykâh al-Mashâbîh, Juz: 7, hal: 62, Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah Wa ad-Dakwah Wa al-Ifta’, Benares, India.
[3] As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, al-Hâwî Li al-Fatâwâ, Juz: 1, hal: 186, Dar al-kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon.
[4] As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, al-Hâwî Li al-Fatâwâ, Juz: 1, hal: 188, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon.
[5] Az-Zamahsyari, Abul Qasim Mahmud bin Umar, al-Kassyâf ‘An Haqâiq at-Tanzîl Wa Uyûn al-Aqâwîl Fî Wujûh at-Ta’wîl, Juz: 3, hal: 567, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut.



Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post