Ulama Bisa Salah, Umat Jangan Marah



Allah selalu menjaga agama-Nya. Dari generasi ke genarsi. Dari Nabi Adam sampai masa kini. Setiap ada penyimpangan-penyimpangan dalam agama tauhid-Nya, Allah mengutus rasul untuk meluruskannya. Begitu seterusnya sampai masa Nabi Muhammad saw..

Namun, setelah masa Nabi Muhammad, Rasul tidak ada lagi. Para rasul yang memurnikan kembali agama diganti oleh para ulama. Karena Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir.

Ulama memiliki kedudukan mulia dalam Islam. Merekalah pembawa panji-panji Tauhid. Setiap generasi gugur, diganti generasi berikutnya. Kata Rasulullah, ulama adalah pewaris nabi. Artinya, merekalah penerus perjuangan baginda Nabi Muhammad SAW.. Merekalah yang akan menuntun umat pada jalan yang diridhai Allah swt..


Namun demikian, meski ulama pewaris nabi, ulama tidak absolut benar. Sebab mereka tidak maksum (terjaga) seperti para rasul. Sehingga mereka berpotensi salah dan berbuat dosa. Beda dengan para rasul yang sudah mendapat jaminan dari Allah. Bahwa mereka terjaga dari salah dan dosa.

Karena itulah, Rasulullah saw. sangat hawatir pada kesalahan para ulama. Imam Baihaqi meriwayatkan, ada tiga hal yang sangat beliau takuti untuk umatnya. Salah satunya adalah zillatul ulama (kesalahan para ulama). Bahkan dalam hadis lain, Rasulullah terang-terangan mewanti-wanti agar takut pada kesalahan ulama. Kata beliau,

“Takutlah kalian pada zillahnya (tergelincirnya) ulama. Dan tunggulah taubatnya !” (HR. Imam Suyuthi dalam Al-Jami’ As-Shoghir)

Ketakuan Rasulullah tersebut sangat beralasan. Sebab, ulama adalah panutan. Apa yang keluar dari para ulama, baik perkataan atau pekerjaan pasti mendapat sambutan hangat dari pecintanya. Jika ulama salah, maka umat ikut salah. Jika ulama melakukan dosa, maka umat ikut melakukan dosa.

Sebagaimana kutipan Imam Munawi dalam Fayd Al-Qadîr, “Tergelincirnya ulama (pada sebuah kesalahan) bagai kapal yang pecah. Kapal itu akan tenggelam dan penumpangnya ikut tenggelam.”

Maka tak heran, ketika Imam Ahmad bin Hanbal dipaksa mengakui Alquran adalah makhluk, beliau tidak mau. Beliau lebih memilih disiksa oleh penguasa. Ketika ditanya hal itu, beliau menjawab, bahwa perkataan beliau akan ditulis oleh banyak orang. Tentu hal itu membahayakan akidah umat Islam.

Dalam masalah ini, sangat perlu bagi kita mendengar wejangan sahabat Mu’adz. Suatu ketika beliau berkata, “Hati-hatilah terhadap kebengkokan orang bijak. Karena setan kadang berbicara kesesatan di lisan orang bijak. Kadang pula berbicara kebenaran di lisan orang munafik.”

Pernyataan sahabat Mu’adz ini mengundang banyak pertanyaan di hati santri-santrinya. “Lalu bagaimana cara mengetahui perkataan sesat atau perkataan benar itu ?” kata seseorang.

Sahabat Mu’adz menjelaskan lagi. Kata beliau, “Jauhilah perkataan orang bijak yang tidak jelas. Tapi kamu tidak perlu menjauhi orang bijak itu. Sebab, bisa jadi pada suatu saat dia mencabut pendapatnya dan kembali kepada kebenaran. Sungguh, kebenaran itu bercahaya.”

Cerita sahabat Mu’adz ini dikupas tuntas oleh Imam Baihaqi dalam Sunan Kubra-nya. Imam Baihaqi juga memberi catatan, bahwa yang dimaksud dengan “kebenaran itu bercahaya” adalah kebenaran itu pasti ada petunjuk dari Alquran, Hadis, Ijma’ atau Qiyas. Artinya, pendapat ulama dianggap benar jika berlandasan empat komponen tersebut.

Memang, ulama bisa salah. Ulama bisa sesat. Akan tetapi, ulama tidak mungkin sepakat pada kesalahan dan kesesatan. Fakta sudah membuktikan hal itu. Terlebih, Rasulullah saw. juga sudah mengabarkannya sejak berabad-abad yang lalu. Rasulullah bersabda,

Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ù„َا ÙŠَجْÙ…َعُ Ø£ُÙ…َّتِÙŠ - Ø£َÙˆْ Ù‚َالَ: Ø£ُÙ…َّØ©َ Ù…ُØ­َÙ…َّدٍ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ - عَÙ„َÙ‰ ضَÙ„َالَØ©ٍ، ÙˆَÙŠَدُ اللَّÙ‡ِ Ù…َعَ الجَÙ…َاعَØ©ِ، ÙˆَÙ…َÙ†ْ Ø´َØ°َّ Ø´َØ°َّ Ø¥ِÙ„َÙ‰ النَّارِ

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mempersatukan umatku- atau beliau mengatakan: umat Muhammad- pada kesesatan, tangan Allah ada pada jamaah. Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah (mayoritas), maka akan keluar menuju neraka.” (HR. Imam Turmudzi)

Bukankah para ulama memang sering berbeda pendapat ? Iya, tapi dalam masalah furuiyah (cabang agama). Akan tetapi dalam masalah usuliyah (masalah pokok dalam agama), misalnya tentang kevalidan Alquran, ulama pasti sepakat. Jika dalam masalah usuliyah ini ada pendapat yang tidak sepakat, berarti termasuk yang memisahkan diri dari jamaah (mayoritas).

Para ulama tabi’in juga mewanti-wanti agar tidak mengikuti ulama nyeleneh. Ibnu Abi ‘Ablah, seorang tabi’in yang terkenal kala itu mengatakan, “Barangsiapa yang mengikuti ulama yang syadz (jarang/tidak sama dengan  mayoritas) maka akan tersesat.”  

Imam Al-Auza’i juga mengatakan, sebagaimana diriwayatkan Imam Baihaqi, “Barangsiapa yang mengambil pendapat ulama yang nadir (jarang/tidak sama dengan pendapat mayoritas) maka sudah keluar dari Islam.”

Meski demikian, kita tidak diperbolehkan menghina ulama mana pun. Termasuk ulama yang nyeleneh. Marah, menceka, atau menghina bukan adab kita. Bahkan, kata Imam Al-Munawi, kita tetap harus berbaik sangka dan memakluminya. Imam Baihaqi juga berkomentar, kita hanya diperintah untuk menjauhi pendapat yang sesat bukan individu ulamanya.

Dengan demikian, ulama memang mulia, tapi tidak pasti benar. Ulama memang tidak pasti benar, tapi dalam masalah ushuliyah (pokok agama) tidak mungkin sepakat sesat. Karenanya, hati-hatilah pada pendapat ulama yang berseberangan dengan mayoritas. Hati-hatilah pada pendapat yang nyeleneh. Tapi, tetap jaga adab. Tidak perlu marah apalagi menghina.

Sumber Foto : http://addawacyber.com 


Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post