Sampai detik ini, kata “Kafir” masih menjadi batu sandung
persatuan. Kata “Kafir” menjadi bahan olok-olok. Kadang pula menjadi ‘camilan’
renyah untuk ‘pertengkaran’. Maka muncullah kata radikal, intoleran, dan
anti-NKRI untuk orang-orang yang mengucapkan kata “Kafir”.
Pokoknya, orang yang mengatakan “Kafir” itu Islam garis keras.
Maka tak heran, jika ada ustad yang pidatonya lucu, kadang ada
tangisan-tangisan khusyu’, tapi karena pernah mengatakan “Kafir”, dia dicap
sebagai ustad garis keras.
Di tengah-tengah polemik di atas, ada pemikir yang mencoba
mengaburkan kata “Kafir”. Ada yang mengatakan, kata “Kafir” tidak relevan di
Indonesia. Karena “Kafir” artinya tidak beriman kepada Allah. Jadi, orang yang
beriman kepada Allah tidak pantas disebut “Kafir”. Seperti, Yahudi dan Nasrani,
karena mereka beriman kepada Allah.
Ada pula yang berpedapat, “Kafir” itu artinya banyak. Tidak
bersyukur itu artinya kufur (kafir). Dengan demikian, orang Islam yang tidak
bersyukur juga bisa dikatakan “Kafir”. Jadinya muslim yang kafir. Jika
demikian, kenapa kata “Kafir” harus disematkan kepada mereka yang non-Muslim ?
Makna Kafir
Sebenarnya, yang disebut “Kafir” ini sederhana. Yang bukan muslim
berarti kafir. Tidak perlu dinalar kemana-mana. “Kafir” itu istilah dalam
Islam. Seperti agama Kristen menyebut non-Kristen sebagai domba-domba tersesat.
Khalid Al-Majid menulis dalam kitabnya, Ahkâm at-Ta’âmul
Ma’a Ghair al-Muslimîn, arti kafir adalah orang yang tidak beriman
kepada risalah (ke-rasulan) Nabi Muhammad saw. atau tidak
beriman kepada ajaran pokok yang bisa diketahui biddarurah. Lebih
lanjut Al-Majid mengatakan, dalam istilah syariatnya mereka disebut “Kuffar”
(orang-orang kafir).
Segap bin ‘Ali Al-Kaf, menulis dalam bukunya, Haqiqah
Al-Firqah An-Najiyah, bahwa arti kufur (kafir) secara etimologi
adalah satru (menutupi). Sedangkan Islam adalah agama yang
sangat jelas. Sehingga siapa pun yang mengingkari Allah atau kenabian Nabi
Muhammad atau mengingkari Islam, maka dia telah menutupi sesuatu yang tidak harus
ditutupi.
Lebih lanjut beliau mengatakan, kufur ada dua. Kufurnya kafir asli
dan kufuranya orang beriman. Kafir asli adalah mereka yang tidak pernah beriman
kepada Allah, Rasulullah, dan agama Islam.
Adapun kufurnya orang mu’min ada dua. Pertama, mengeluarkannya
dari Islam. Misalnya, kufur karena menyembah patung. Maka sudah keluar dari
Islam. Bisa juga disebut murtad.
Kedua, tidak mengeluarkannya dari Islam. Seperti orang Islam yang
bermaksiat kepada Allah. Maka dia termasuk orang yang kufur, tapi tidak sampai
membuatnya keluar dari Islam. Hanya dianggap berdosa saja. Termasuk dalam
kategori ini adalah orang Islam yang tidak bersyukur. Maka dia disebut
mengkufuri nikmat. Tapi tidak sampai mengeluarkannya dari Islam.
Kata “Kafir” dalam
Pergulatan Dakwah
Namun demikian, dalam pergaulan sehari-hari, kita tak perlu
memanggil non-muslim dengan kata kafir. Kita panggil saja dengan nama aslinya.
Apa lagi non-muslim sepertinya tidak mau dipanggil kafir.
Imam Nawawi menulis dalam kitabnya Al-Majmu’, saat
kita saling sapa dengan non-muslim, kita cukup memanggil dengan namanya.
Bahkan, kita boleh memanggilnya dengan panggilan kunyah saat
kita tidak tahu nama aslinya atau jika memanggil dengan nama asli, ada mafsadah
(hal negatif) yang akan ditimbulkan.
Ketika men-syarahi kitab Shohih Muslim,
Imam Nawawi juga menyinggung hal ini. Beliau menulis, hukum memberi kunyah pada
orang kafir ulama berbeda pendapat. Pendapat Imam Malik juga ada dua versi. Ada
yang mengatakan boleh, ada yang mengatakan makruh.
Ulama lain –masih dalam tulisan Imam Nawawi- mengomentari, memberi
kunyah pada dasarnya tidak boleh. Karena kunyah itu termasuk panggilan
penghormatan. Namun, jika untuk ta’aluf (meluluhkan hati
non-muslim agar masuk Islam), maka tidak masalah.
Hal senada juga ditulis oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Ahkâm
Ahlu Dzimmah. Menurut beliau, hukum memberi kunyah kepada
non-muslim tergantung pada situasi dan kondisi. Jika ada maslahah rajihah (positifnya
lebih unggul dari negatifnya), maka tidak masalah.
Misalnya, kita memberi kunyah agar hati orang-orang kafir luluh,
atau agar dia masuk Islam, atau agar orang lain melihat pergaulan kita yang
baik sehingga orang itu mau masuk Islam, maka tidak masalah. Bahkan hal itu
lebih utama untuk dilakukan.
Apa sih yang dimaksud kunyah ? Kunyah itu
panggilan yang didahului kata Abun (ayah) atau (ummun). Contohnya, Abu Bakar
(ayah perawan, nama aslinya adalah ‘Abdullah). Atau Abu Hurairah (bapaknya
kucing, nama aslinya Abdurrahman).
Nama Kunyah diberikan untuk menghormati orang yang dipanggil.
Karena itulah, memnggail orang kafir dengan panggilan kunyah dilarang. Namun,
jika ada maslahah ketika kita memberi kunyah, maka tidak apa-apa, bahkan lebih
utama. Sebagaimana penjabaran Imam Nawawi dan Ibnu Qayyim di atas.
Rasulullah saw. pun pernah memberi kunyah pada Usquf Najran.
Beliau berucap, “Wahai Abal Harits (Ayah Harits), masuk Islamlah !”. Hal ini
beliau lakukan dalam rangka bergaul dengan baik. Sehingga Usquf luluh hatinya
dan masuk Islam. Jadi bukan untuk mengagungkan orang kafir.
Toleransi dalam Surat Kafir
Penulis ingin mengakhiri tulisan ini dengan kandungan surat
“Kafir” yang biasa kita sebut dengan Al-Kafirun. Bahwa kata “Kafir” tidak
identik dengan kekerasan atau radikalisme. Kata “Kafir” hanya bentuk ketegasan:
saya muslim dan saya hanya menyembah Tuhan saya. Engkau kafir, dan sembahlah
‘tuhanmu’.
Bahkan, dalam kata “Kafir” itu ada ajaran toleransi. Allah
mengakhiri surat Al-Kafirun dengan: Lakum Dinukum Wa Liyadin.
Bagimu agamau, bagiku agamaku. Cukuplah hal ini sebagai penegasan, ajaran
toleransi terpampang dalam surat “Kafir”.
Sumber Foto: www.plukme.com
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!