Menulis itu tidak mudah, tapi juga tida sulit.
Tidak mudah karena memang butuh pikiran, tenaga bahkan kadang harta. Tidak
sulit karena jika memiliki keinginan, siapa pun pasti bisa. Menulis itu
sulit-sulit-mudah.
Oleh karena itu, ada satu hal yang harsu
ditanamkan dalam hati jika ingin jadi penulis, yaitu kata “Kenapa”. Kenapa
harus menulis? Kenapa ingin berkayara ? Dengan pertanyaan itu kita bisa
memahami tujuan kita menulis.
Memahami tujuan menulis itu penting. Karena
tujuan itu alasan. Kelak, saat kita tidak mood lagi menulis atau tidak
semangat menulis, kita bisa mengingat alasan-alasan itu. Agar semagant menulis
kembali membara.
Setidaknya, ada tiga alasan kenapa kita harus
menulis. Tiga hal ini, terinspirasi dari kalam-kalam dan teladan para ulama
mengenai tulis-menulis. Jujur saja, tiga hal tersebut menjadi motivasi saya untuk
menulis.
1 1. Menulis itu berbagi lalu berarti
Menulis itu berbagi. Berbagi inspirasi, ilmu,
dan gagasan cemerlang. Dengan berbagi kita menjadi berarti untuk sesama. Lalu
kita bahagia. Adakah yang lebih membahagiakan dari pada kita menjadi berarti ?
Menjadi berarti itu keinginan setiap manusia.
Menulis adalah salah satu caranya. Bahkan, menulis bisa berarti sepanjang masa.
Selagi tulisan-tulisan kita dibaca, kita menjadi berarti dan bermenfaat. Pahala
pun terus mengalir kepada kita.
Kata Imam Suyuthi ketika men-syarahi
hadis sedekah jariyah dalam kitab Sunan an-Nasa’i, bahwa pahala ilmu bisa abadi
dengan diajarkan atau dikarang. Artinya, tulisan akan menjadi amal yang terus
mengalir pahalanya.
2 2. Jika bukan putra kiai, bukan anak penguasa, maka menulislah !
Kata mutiara terkenal di atas adalah terjemahan
dari kalam Imam Al-Ghazali. Jika membaca beografinya, beliau memang anak orang
biasa. Tapi, beliau menjadi ulama besar yang luar bisa. Karya beliau juga tiada
tandingya.
Maka, kata-kata beliau di atas adalah fakta.
Bisa jadi beliau sendiri yang mengalaminya. Bagi kita yang bukan anak
siapa-siapa, menulislah, menulislah! Sebagaimana Imam Al-Ghazali.
Kenapa anak orang biasa-biasa harus menulis ?
Putra kiai gampang jadi kiai, gampang pula menjadi orang sukses. Anak penguasa,
gampang jadi penguasa, gampang pula jadi orang yang sukses.
Nah, anak orang biasa ? Tidak segampang mereka.
Kesuksesan harus dicari sendiri. Eksistensi diri harus digaungkan sendiri.
Deklarasi diri kepada dunia juga harus dilaksanakan sendiri.
Imam Al-Ghazali memberi rekomendasi, semua itu
bisa dilakukan dengan menulis. Menulis adalah memproklamasikan diri kepada duna
bahwa kita ada.
Apakah putra kiai atau putra penguasa tidak
penting untuk menjadi penulis ? Penting juga. Anak orang biasa jika menjadi
penulis itu keren, apa lagi kalau putra kiai atau putra penguasa.
Syaikah Abul Fath Al-Busthi juga berpuisi bahwa
karya tulis adalah ‘pedang’ untuk meraih
kemulian. Puisi beliau ini dikutip Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya. Puisi
beliau sebagaimana berikut:
إذا أقسم الأبطال يوما بسيفهم ... وعدوه مما يكسب
المجد والكرم
كفى قلم الكتاب عزا ورفعة ... مدى الدهر أن الله
أقسم بالقلم
Jika
suatu hari seorang pendekar bersumpah dengan pedangnya
bahwa
pedang itu membuatnya mulia,
maka
cukuplah sebuah pena
membuat
penulis mulia seapnjang masa
(karena),
Allah pun telah bersumpah dengan pena.
3. Bersama tinta sampai tutup usia
Tentu kita tahu, diantara ulama yang produktif
menulis adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau salah satu ulama madzhab fikih.
Pengikutnya tersebar di seluruh penjuru dunia.
Ada cerita unik beliau tentang tulis-menulis.
Diceritakan, beliau tidak pernah terlepas dari pena dan tinta. Ke mana saja,
beliau membawa alat tulis itu. Bahkan sampai usia senja.
Pada suatu ketika, ada orang bertanya kepada
beliau mengenai hal itu. “Engkau sudah sepuh, engakau juga imamnya orang-orang
Islam. Sampai kapan engkau akan terus membawa tinta ?” tanya seseorang.
Mendapat pertanyaan sedemikian, beliau menjawab
enteng, “Ma’al mihbarah ila al-maqbarah”. Bersama tempat tinta sampai
kuburan. Jika kita artikan lebih kontekstual, maka artinya begini: Saya akan
terus membawa pena sampai tutup usia.
Beigutlah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau ingin
terus menulis. Tidak pandag usia. Beliau ingin meninggalkan karya-karya yang
membuat hidupnya lebih bermakna.
Mungkin senada dengan kisah di atas adalah
kisah salah satu ulama sufi Nisabur. Namanya adalah Abul Qosim Ibrahim bin
Muhammad. Beliau termasuk ulama yang tidak pernah terlepas dari pena.
Suatu hari, ada yang bertanya kenapa beliau
selalu membawa pena. Beliau menjawab, “Mungkin saya mendengar –dari tukang
pikul atau siapa saja- suatu hikmah, saya ingin menulisnya.”
Begitulah inspirasi menulis dari ulama-ulama
kita. Mereka memandang tulis-menulis itu kegiatan luar biasa agungnya. Bagi
saya, mereka adalah ulama sufi tapi modis yang perlu kita jadikan model dan
panutan, khususnya dalam dunia tulis-menulis.
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!