Perkembangan
tulis-menulis santri di masa kini patut diacungi jempol. Media cetak maupun
media online bermunculan dari pesantren-pesantren. Buku-buku berkelas karangan
santri juga ikut nimbrung di toko buku nasional.
Hal ini
sangat membanggakan. Sebab, santri adalah tangan kanan para ulama salaf. Di
tangan para santrilah, kitab-kitab para ulama salaf bisa diekspresikan dengan
gaya baru sehingga bisa difahami oleh semua kalangan.
Tak aneh
memang, jika para santri hebat menulis. Sebab, santri-santri dulu juga hebat
menulis. Sebut saja, Syaikh Nawawi al-Banteni, Syaikh Ihsan al-Jampesi, atau
KH. Hasyim Asy’ari.
Mereka
adalah santri biyen yang
karangannya mendunia. Diakui atau tidak, dunia tulis-menulis santri yang telah
menjadi ulama besar itu turut andil dalam memotivasi tulis-menulis santri masa
kini.
Akan
tetapi, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan santri. Bahwa para ulama tidak
hanya menulis, tapi juga memiliki nilai spiritual tinggi. Mereka tidak hanya
memoles kata seindah mungkin, tapi juga membangun kedekatan diri kepada Allah
swt..
Tak
heran, jika tulisan-tulisan mereka benar-benar bermakna. Memiliki “kekuatan
Tuhan” untuk mempengaruhi pembaca. Pembacapun tidak pernah bosan untuk membuka
lembar demi lembar tulisan mereka.
Coba
kita tengok sejarah. Betapa para ulama begitu gigihnya menjaga “kesucian”
karangan mereka. Sebut saja Imam Bukhari, ulama ahli hadis terkemuka. Beliau
pernah mengatakan begini, “Saya mengelurkan kitab “as-Shohih” kira-kira berisi 600.000 hadis
dalam masa 16 tahun. Dan saya tidak pernah meletakkan satu hadispun kecuali
saya mandi dan salat dua rakaat.”
Luar
biasa bukan? Tak heran, jika kitab beliau menjadi rujukan utama dalam
mempelajari hadis.
Begitu
juga dengan Imam Syafi’i. Dalam kitabnya, Tarikh al-Islam Wa Wafayat al-Masyahir Wa al-‘A’lam,
Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Imam Syafi’I membagi malam menjadi tiga bagian.
Sepertiga pertama untuk menulis. Sepertiga kedua untuk salat. Sepertiga ketiga
untuk istirahat.
Itulah
segelintir kisah para ulama dalam dunia tulis-menulis. Tentu masih banyak
cerita-cerita luar biasa lainnya. Nah,
santri juga harus memiliki hal ini. Santri tidak hanya meneladani para ulama
dalam tulis-menulisnya, tapi juga bagaimana tulisan itu memiliki ruh ilahiyah (kekuatan
Tuhan) sebagaimana karangan mereka.
Menulislah
sebanyak-banyaknya, tapi jangan lupa untuk mentirakatinya. Agar tulisan itu
benar-benar memiliki jiwa. Memiliki energi untuk meluluhkan hawa nafsu dan
mempengaruhi pembaca. Tidak hampa. Tidak selesai setelah dibaca.
Zawawi
Imron, seniman dan penyair kondang berdarah Madura mengatakan dalam Seminar
Nasional yang diselenggerakan oleh "Santri Media" bahwa penulis harus
berdzikir. Dari pemaparan beliau, setidaknya ada dua alasan kenapa penulis
harus berdzikir.
Pertama, dzikir
menjadikan seseorang mampu melakukan lompatan-lompatan di luar prosedur. Orang
yang hatinya dekat dengan Allah swt. memiliki prestasi luar biasa. Kalau dia
berkecimpung dalam dunia tulis menulis, dia memiliki karangan luar biasa.
Contoh kecilnya, Imam As-Suyuthi.
Konon,
beliau memiliki karangan sampai 600 kitab. Coba kita logikakan, sulit diterima.
Belajarnya kapan? Tidurnya kapan? Ini-itunya kapan? Tapi, kalau Allah
berkehendak, apa saja bisa terjadi.
Oleh
karena itu, mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah pintu pertama untuk
memiliki karangan luar biasa. Setidaknya, kita berdoa agar Allah swt. memberi
ide-ide cemerlang. Siapa tahu, dengan doa itu Allah mengilhmakan
inspirasi-inspirasi. Bukankah kita memang diperintah untuk berdoa?
Hal ini,
pernah dialami oleh KH. Zawawi Imron. Dalam pemaparannya , beliau bercerita.
Suatu ketika ada lomba menulis puisi. Waktu itu beliau belum terkenal. Beliau
pun berdoa kepada Allah agar diberi inspirasi. Akan tetapi, inspirasi itu tak
kunjung datang sampai deadline lomba
begitu dekat.
Entah
dari mana, tiba-tiba beliau kebanjiran inspirasi. Beliau tulis insipirasi itu
dalam bentuk puisi. Kemudian dikirim. Alhamdulillah,
beliau juara pertama. Hadiahnya besar sehingga bisa dibuat ongkos naik haji. Inilah
keajaiban dzikir (ingat) kepada Allah swt..
Kedua, dzikir
menjadikan seseorang memiliki energi positif. Dalam menulis, kita harus
memiliki energi positif. Memiliki hati yang jernih. Dalam bahasa arabnya, Qolbun Salim. Hati yang
selamat. Dari Qobun Salim itulah
akan lahir karya-karya penyejuk jiwa. Karya yang memiliki nilai positif.
Bukankah karya yang baik itu adalah karya yang keluar dari getaran hati?
Tulisan
yang keluar dari getaran hati akan menggetarkan hati pembacanya walaupun dengan
kata-kata biasa. Atau dalam bahasa gaulnya, apa yang keluar dari hati akan
masuk ke hati. Tentu, yang bisa melakukan hal sedemikian hanya hati yang suci.
Hanya Qolbun Salim.
Jadi,
kita memang harus menulis. Menulis adalah tradisi Islam. Kita harus menjaganya.
Menulis juga kebiasaan ulama salaf. Kita harus meneladaninya. Apa lagi kita
santri. Masih begitu banyak karangan ulama yang menunggu tangan kreatif kita.
Tapi,
jangan lupa. Kita juga harus meneladani para ulama dalam masalah tirakat. Ber-taqorrub dan
beribadah kepada Allah swt.. Kita lakukan dari hal yang paling kecil.
Seperti da’imul wudu.
Selalu punya wudu. Terlebih waktu kita menulis. Agar tulisan kita bisa
menerangi hati pembaca.
Tulisan saya beberapa tahun lalu... setelah mengikuti acara yang dihadiri oleh KH. Zawawi Imron di PWNU Jatim.
Sumber Foto http://sabilhikmah.typepad.com/
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!