Sikap Sayyidina Ali Zainal Abidin Ketika Dicaci Maki

sumber foto: https://saurukent.deviantart.com/art/Fall-N-Rise
Beberapa waktu yang lalu, muncul seorang habib yang tegas. Jika berpidato, lantang dan sering memekikkan takbir. Beliau tampak keras memang. Meski mungkin saat bercengkrama dengan sesama, tidak sama dengan saat ceramah. Yang jelas, pidato beliau membikin hati merinding. Ghirah keislaman tumbuh. Dan yang paling penting, beliau adalah sentral aksi super damai 212. Aksi yang menggambarkan solidaritas muslim se Indonesia. Aksi yang menggambarkan persatuan muslimin.

Namun demikian, sikap terjang beliau menuai kontroversi. Banyak orang mengata-ngatai beliau. Banyak yang mencibir, mencaci, bahkan menuduh beliau radikal. Banyak kata kotor, meme kejam, serta video-video fitnah dialamatkan kepada beliau. Juga tidak sedikit yang membela beliau. Mensuport beliau. “Jalan dakwah yang diambil beliau memang penuh resiko,” begitu kata salah seorang yang menurut saya cukup bijak.


Siapa beliau ? pastilah kita bisa menebak. Habib Rizieq Syihab itulah namanya. Jauh berbeda dengan Habib Rizieq adalah Habib Umar bin Hafidz. Seorang ulama Yaman yang sudah melahirkan kader-kader dai handal. Beliau lembut tutur katanya. Santun pidatonya. Tentu mulia sikapnya.

Alhamdulillah, baru-baru ini beliau berkenan berkunjung ke Indonesia. Sungguh kehormatan bagi negeri tercinta ini diinjak oleh ulama besar. Meski demikian, masih ada saja yang mencibir beliau. Menyindir beliau dengan bahasa halus tapi nyelkit. Maka bertaburanlah pembelaan untuk beliau.

Jika habib Rizieq dicibirin, maklumlah. Jalan dakwah yang beliau ambil memang beresiko demikian. Lah, Habib Umar yang tampak begitu santun kok dicibir juga ? Apa mungkin cibiran-cibiran itu bukan karena berkaitan dengan “santun dan tidak santun”, tapi berkaitan selera. Karena tidak suka, lalu ‘berkata-kata’. ? Naudzubillah. Jangan sampai hal ini terjadi pada kita.

Jadi teringat sebuah makalah ulama, “Ridha an-Nas Ghayah La Tudrak”. Dicintai semua manusia itu adalah cita-cita yang tak mungkin bisa dicapai. Habib Rizieiq banyak penggemarnya. Banyak pencintanya. Banyak pula yang tidak menyukainya. Begitu juga Habib Umar bin Hafidz. Ya, begitulah hidup di dunia.

Habib Umar bin Hafidz datang ke Indonesia harus kita syukuri. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Mulai dari pidato-pidato beliau sampai jejak langkah beliau. Mungkin di Yaman memang tidak seaman Indonesia. Namun meski demikian, beliau masih menyempatkan diri datang ke Indoneisa. Merajut persaudaraan Islamiyah dan menebarkan ilmu-ilmu Allah.

Benarkah di Yaman tidak aman ? Benarkah penduduk Yaman tidak tenang ? Sebenarnya hal ini perlu kejelasan. Yang jelas, teman-teman pesantren saya banyak yang ada di sana. Khususnya di Hadramaut. Melanjutkan pendidikan di sana. Dan sering sekali saya melihat foto mereka tersenyum indah di beranda medsos. Pertanda aman atau tidak ?
________________________________
_______________________________
Cibir mencibir sejatinya sudah terjadi sejak dahulu kala. Agar kita legowo, mari kita baca kisah hikmah mengenai cibir-cibiran. Cerita ini direkam dalam kitab Imam Sya’rani, Tabaqât al-Kubrâ. Aktor utama dalam kisah ini adalah Ali Zainal Abidin.

Pada suatu ketika, cicit terhebat Rasulullah itu berada di Masjid. Seketika ada seseorang yang mengata-ngatai beliau, mencaci beliau, dan menghina beliau. Beliau diam saja. Sedikit pun tidak berkomentar. Setelah orang itu selesai, beliau pergi.

Orang yang mencaci Sayyid Ali Zainal Abidin tersadar dan menyesal. Maka orang itu menbuntuti beliau sambil menangis. “Engkau tidak akan mendengar lagi kata-kata seperti tadi dariku,” ucap si pencaci. Ali Zainal Abidin terus melangkah. Terdengar sebuah syiir dari beliau,

وما شيء أحب إلى اللئيم ... إذا شتم الكريم من الجواب

“Tak ada yang lebih dicintai
Oleh orang hina saat mencaci orang mulia
Dari pada jawaban-jawaban atas hinaannya”

Dari syiir ini, Ali Zainal Abidin menegaskan bahwa jawaban terindah untuk penghina (diri bukan agama) adalah diam. Jika diri kita dicaci, diam saja. Sebab jika kita membalas mencaci, kita juga hina. Syaikh Abdurrauf al-Munawi juga menulis dalam kitabnya, Faydh al-Qadîr, tidak membalas sikap dan perkataan orang bodoh itu dianggap baik dalam adab, harga diri, syariat, dan hakikat. Juga, lebih menyelamatkan harga diri dan kewaraan.

Apa mungkin karena cerita Sayyid Ali Zainal Abidin itu, banyak para ulama yang mendapat nyinyiran, cibiran, bahkan cacian, tapi mereka diam saja ? Tidak meladeni.

Ada cerita lagi. Aktornya masih sama, Sayyid Ali Zainal Abidin. Kala itu, beliau mendengar bahwa seseorang telah merendahkan, mengata-ngatai, dan menghina beliau. Beliau tidak ambil pusing. Beliau langsung mendatangi rumah orang itu. Di rumah itu, beliau mengatakan,
“Jika yang kau katakana itu benar, semoga Allah mengampuniku. Tapi jika tidak benar, semoga Allah mengampunimu.”

Sebagai penutup, saya tulis sebuah hadis yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab beliau, al-Jami’ as-Shaghir Min Hadis al-Basyir an-Nadzir. Berikut penggalan hadisnya,

 ……..وإن امرؤ شتمك وعيرك بأمر ليس هو فيك فلا تعيره بأمر هو فيه، ودعه يكون وباله عليه وأجره لك، ولا تسبن أحدا


“…. Jika seseorang memaki dan menjelek-jelekkanmu dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, maka engkau jangan menjelek-jelekkannya dengan sesuatu yang ada pada dirinya. Tinggalkan saja dia ! Akibatnya akan dirasakan sendiri olehnya. Pahalanya akan didapat oleh dirimu. Dan jangan sekali-kali kau mencaci siapapun.”


_________________________

Baca juga   Silaturrahim, Arti, dan Janji Nabi  

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post