Menjalani
mahligai rumah tangga memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tidak
segampang yang kita bayangkan. Meniti rumah tangga bagai mengarungi laut lepas.
Berombak besar. Berangin kencang. Kapal terombang-ambing. Tak heran, jika
kemudian dibumbui pertengkaran, adu mulut bahkan sampai “perkelahian”. Dalam
perkelahian rumah tangga, dapat dipastikan yang menjadi pemenang adalah suami.
Istri yang memang memiliki tubuh tidak seperkasa suami sering menjadi korban.
Istri babak belur. Tubuhnya penuh dengan warna hitam legam.
Jika
hal itu terjadi, pihak yang paling berhak disalahkan adalah suami. Meski istri
juga berperan dalam terjadinya pertengkaran itu. Sebab, suami adalah nahkoda
kapal rumah tangga. Keselamatan rumah tangga sangat bergantung kepada kepiawaian
suami. Jika suami orang yang bijak, pertengkaran pasti bisa dihindari. Memang,
dalam Islam ada sikap tertentu yang harus dilakukan suami ketika istri nusyuz.
Termasuk memukul dalam rangka mendidik. Akan tetapi, pukulan itu tidak sampai
menyakiti (mubarrih). Jika pukulan itu sampai menyebabkan legam dan
warna hitam di kulit, berarti sudah keluar dari tuntunan syariat.
Hal
paling utama yang harus difahami suami adalah istri itu manusia biasa. Pasti
banyak salah dan dosa. Dalam budi pekerti pun pasti banyak kekurangannya. Bahkan
dalam banyak Hadis, wanita diumpamakan tulang rusuk yang bengkok. Artinya,
wanita itu pasti memilki perilaku yang tidak baik. Perilaku yang tidak disukai
suami. Akan tetapi, hal itu bukan berarti seorang suami bebas mengadili istri.
Mentang-mentang istri orang yang “kurang ajar”, suami boleh menghajar.
Mentang-mentang istri memilki sifat buruk, suami boleh mengepruk. Tidak. Dalam
konteks ini, yang dikedepankan adalah kasih sayang. Bukankah “kebengkokan”
istri sudah menjadi sunnatullah? Penulis yakin, semua istri ingin menjadi istri
yang baik. Tapi, mereka memiliki “penyakit bawaan” yang pasti hadir dalam
kehidupan mereka. Sehingga keinginan itu tidak sepenuhnya tercapai.
Oleh
karena itu, marilah kita renungi Hadis berikut. “Sesungguhnya perempuan itu
dijadikan dari tulang rusuk. Tidak akan lurus bagimu pada suatu jalan (yang
kamu inginkan). Jika kau bersenang-senang denganya, kau bersenang-senang
dengannya dan dia tetap bengkok. Jika kau bangkit untuk meluruskannya, kau akan
memecahkannya. Dan, memecahkannya adalah menelaknya.” (HR. Imam Muslim)
Mengomentari Hadis tersebut, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya, Syarh
an-Nawawî ‘Alâ Muslim, bahwa Hadis ini mendorong agar menyayangi istri,
lemah lembut padanya, berbuat baik kepadanya, sabar atas perilaku bengkoknya,
menerima kelemahan akalanya, tidak menceraikannya tanpa sebab, dan tidak agresif
untuk memperbaikinya. Gampangnya, harus ekstra hati-hati menghadapi kebengkokan
istri. Harus dihadapi dengan kasih sayang yang mendalam.
Hadis
berikut juga senada dengan Hadis di atas. Rasulullah bersabda,
“Perlakukanlah wanita dengan baik, karena mereka dijadikan dari tulang rusuk.
Dan sesungguhnya paling bengkoknya sesuatu di tulang rusuk itu yang paling
atas. Jika kau ingin meluruskannya, kau akan memecahannya. Jika kau
membiarkannya, dia akan terus bengkok. Maka perlakukanlah wanita itu dengan
baik.” (HR. Imam Bukhari)
Dalam Hadis ini Rasulullah menginformasikan bahwa
perempuan itu bengkok. Memiliki perilaku buruk. Tapi bukan masalah itu yang
menjadi pembahasan utama. Yang lebih ditekankan adalah bagaimana suami
menghadapinya. Yaitu, dengan memperlakukan perempuan dengan baik, menyayanig
mereka, dan berusaha memperbaiki mereka sedikit demi sedikit. Imam Muhammad Ali
bin Muhammad bin ‘Allan as-Syafi’i, dalam kitabnya, Dalil al-Falihin, mengatakan
ketika mengomentari Hadis tersebut bahwa suami tidak boleh membiarkan istri
tidak baik. Suami harus memperbaikinya, tapi dengan cara yang lembut, dengan
kasih sayang, dan pelan-pelan. Sehingga tidak menyebabkan masalah yang lebih
besar, seperti pertengkaran hebat dan perceraian.
Selain
itu, Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Orang laki-laki mu’min tidak
(boleh) benci pada perempuan mu’min. (Sebab,) jika dia menbenci suatu budi
pekerti darinya, dia juga menyukai budi perkerti yang lain.” (HR. Imam Muslim)
Imam Nawawi mengatakan bahwa Hadis ini merupakan larangan pada suami. Larangan agar
tidak membenci istri karena memilki akhlak yang tidak baik. Sebab, selain
memiliki akhlak jelek, istri pasti memiliki akhlak yang baik. Dengan demikian,
seharusnya suami tidak hanya menghitung-hitung kejelekan istri, tapi juga
kebaikannya. Tidak hanya menilai kekurangannya, tapi juga kelebihannya. Terimalah
perilaku baiknya. Terima pulalah perilaku jeleknya.
Kalau
kita menilik sejarah, hal serupa juga terjadi pada Nabi Ibrahim. Suatu ketika
beliau mengadu kepada Allah swt.. Beliau bermunajat bahwa istri beliau, Sarah
memiliki suatu akhlak yang kurang baik. Allah swt. pun menjawabnya, “Sesungguhnya,
perempuan itu seperti tulang rusuk. Jika kau biarkan, kau membirakannya
bengkok. Jika kau meluruskannya, kau akan mematahkannya. Maka, terimalah apa
adanya.”
Walhasil, istri hanya manusia biasa. Pasti memiliki kekurangan. Di samping
juga memiliki kelebihan. Oleh karena itu, terimalah dia apa adanya. Sayangi dia.
Sayangi kelebihan dan kekurangannya. Kekurangan mereka bukan untuk diadili,
tapi untuk difahami. Kekurangan mereka memang dari sononya. Dari sang
pencipta. Orang bijak mengatakan, “Istri itu manusia biasa. Sama dengan anda.
Jika kau menyukai kelebihannya, kenpa tidak rela pada kekurangannya?” Meski
demikian, seorang suami harus tetap berusaha memperbaiki perilaku istri yang
kurang baik. Pelan-pelan tapi pasti. Dengan lembut, kasih sayang, dan
ketulusan. Agar tidak menyebabkannya patah dan melahirkan masalah. Menyayangi bukan
berarti membiarkannya. Menyayangi yang sesungguhnya adalah selalu berusaha agar
istri menjadi orang baik, sehingga kelak bisa bersama-sama masuk surga.
Dimuat di dakwatuna.com, klik di sini.. http://www.dakwatuna.com/2016/02/12/78977/78977/#axzz4XrpMdRe4
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!