Islam Jangan Arab ?

“Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini”

Kata-kata Bung Karno di atas sempat viral. Hal itu bermula ketika Megawati Sukarno Putri mengutipnya saat menyampaikan sambutan HUT PDI Perjuangan yang ke-44 di Jakarta, Selasa, (10/01/2017). Pidato ketua  PDI-P tersebut langsung mendapat tanggapan dari banyak nitezen. Khususnya menyangkut kalimat “Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab”.

Mengenai hal tersebut, yang paling utama untuk kita ketahui adalah apa maksud sebenarnya dari kalimat di atas? Hal itu perlu kita ketahui. Sebab, Islam dan Arab adalah satu kesatuan. Sulit dipisahkan. Nabi Muhammad berbahasa Arab, al-Quran berbahasa Arab, Hadis berbahasa Arab, dan sumber-sumber Islam berbahasa Arab. Belajar Islam, tidak luput dari “Arab”.


Karenanya, jika yang dimaksud dengan “Jangan jadi orang Arab” adalah “Jangan jadi mulsim sejati” jelas umat Islam harus menolak. Misalnya, ada orang mengatakan tidak usah memakai hijab (berjilbab). Karena hijab budaya Arab. Kita harus menolaknya. Atau tidak perlu jenggotan, tidak perlu jubahan, tidak perlu memakai baju putih-putih, karena semua itu budaya Arab. Kita juga harus menolaknya. Pendapat seperti ini adalah anti syariat Islam yang dibalut dengan cinta budaya. Gampangnya, ajakan untuk “membuang budaya Arab” sebenarnya ajakan untuk meninggalkan Syariat.

Kenapa kita harus menolak? Karena bagi kita Islam adalah segalanya. Hukum Syariat adalah tuntunan dalam kehidupan kita. Saat kita memilih Islam sebagai keyakinan, maka semua ajaran Islam harus kita kerjakan. Islam harus benar-benar mewarnai semua lini kehidupan. Baik yang bersangkutan dengan duniawi apa lagi yang ukhrawi.
Allah berfirman,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,….” (QS. Al-Baqarah [02]: 208)

Menurut ulama tafsir, seperti Sayyid Thontowi dalam tafsirnya, al-Wasith, maksud ayat di atas adalah seruan kepada umat Islam agar mengerjakan semua ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan hukum atu budi pekerti. Artinya, Islam benar-benar mewarnai kehidupan kita. Beribadah secara islami, berakhlak secara islami, dan semua perbuatan kita islami.

Lantas, apakah Islam anti budaya dan tradisi? Tidak. Islam merangkul dan menerima budaya dan tradisi masyarakat, asal tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan secara tidak langsung Islam menuntun kita untuk melestarikan budaya dan tradisi.

Allah berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raf [07]: 199)

Imam Tsa’alabi dalam tafsirnya, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lafadz “Urfi” dalam ayat di atas adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Senada dengan Imam Tsa’alabi adalah Syaikh al-Maraghi. Menurut beliau, pengertian “urfi” adalah kebaikan yang sudah dikenal dan disenangi masyarakat. Tentu, hal ini berdasarkan kebiasaan (tradisi dan budaya) masyarakat setempat. Sederhananya, ayat di atas menuntun kita untuk memerintah pada kebaikan. Baik yang berupa syariat atau tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Selain itu, Sayyidina ‘Ali juga pernah ditanya mengenai akhlak mulia. Sayyidina Ali menjawab, “menyamai masyarakat dalam segala hal kecuali yang berupa maksiat”. Jawaban Sayyidina Ali ini menunjukkan bahwa Islam tidak anti budaya dan tradisi. Malah, Islam menuntun kita untuk melesatrikan budaya yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

Tak heran, jika Wali Songo sangat arif menjadikan budaya dan tradisi sebagai media dakwah. Sebab, selain lebih mudah untuk diterima masyarakat, juga merupakan anjuran Islam. Pada akhrinya, budaya masyarakat mengalami Islamisasi. Yang asalnya berbau kemusyrikan, berubah menjadi sangat Islam.
Dengan demikian, kita harus memilah-milih mana budaya Arab dan mana ajaran Islam. Kalau hijab, itu ajaran Islam bukan budaya Arab. Sehingga, wanita manapun harus berhijab. Adapun cara berhijabnya sesuai masyarakt masing-masing. Bisa jadi cara berhijab Arab dan Indonesia berbeda.

Kalau memakai baju putih, jubah, berjenggot, itu sunah. Kalau dikerjakan mendapat pahala, kalau ditinggalkan tidak apa-apa. Jadi, tidak masalah memakai batik. Bahkan kalau kita niati untuk berkahlak mulia sebagaimana pendapat Sayyidina Ali di atas, kita juga mendapat pahala.

Kalau bertawaf di Kakbah dengan telanjang itu memang budaya Arab. Memendam anak perempuan hidup-hidup itu juga budaya Arab. Orang Indonesia tidak perlu melakukan semua itu. Kita harus tinggalkan budaya Arab yang jelek-jelek. Juga budaya bangsa mana pun. Sudah seharusnya kita juga mengatakan, “Tidak usah kebarat-baratan. Ambil ilmu pengetahuannya, buang budayanya”.

Jadi, jika yang dimaksud dengan “Jangan jadi orang Arab” adalah anti syariat, maka kita harus menolaknya. Namun, jika yang dimaksud adalah melestarikan tradisi dan budaya yang tidak bertentangan dengan syariat, maka boleh-boleh saja. Karena Islam tidak anti taradisi dan budaya. Bahkan, berdakwah melalui tradisi dan budaya sudah terbukti kemanjurannya.

Wallahu A’lam

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post