“يُوشِكُ
الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا
». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ « بَلْ أَنْتُمْ
يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ
اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ
فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا
الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ »رواه ابو داود
“Hampir tiba masanya
bangsa-bangsa saling mengajak untuk (mengalahkan) kalian sebagaimana sekumpulan
orang saling mengajak (untuk memakan makanan) di talamnya. “Apakah karena kita
sedikit pada waktu?” Seseorang bertanya. “Bahkan kalian banyak, tapi kalian
buih seperti buih banjir. Dan Allah mencabut rasa gentar dari hati musuh
kalian. Dan Allah menanamkan al-Wahn di hati kalian. “Apa itu al-Wahn wahai
Rasulullah?” tanya seseorang. “Senang dunia dan takut mati,” jawab Rasulullah
saw..
Prolog
Akhir-akhir ini, hadis di atas
menjadi perbincangan hangat di medsos. Utamanya, setelah ada oknom yang
mengait-ngaitkannya dengan Aksi Super Damai 212. Katanya, umat Islam yang ikut
aksi di monas itu seperti buih. Sindiran itu langsung mendapat tanggapan dari
netizen. Ada yang tidak terima, ada yang tabayyun, dan ada pula yang
menyalutinya. Maklumlah Indonesia. Setiap ada permasalahan, pasti ada
pro-kontra. Saling adu dalil.
Karenanya, penulis tertarik untuk
mengkaji. Sebenarnya apa yang dimaksud hadis di atas? Kenapa umat Islam jadi
seperti buih? Dan apakah bisa hadis di atas kita pakai untuk “menyerang”
saudara kita yang berdizikir di monas?
Arti Perkata
Yang dimaksud “الأُمَمُ” (bangsa-bangsa) dalam hadis di atas adalah kelompok orang
kafir dan orang-orang sesat. Mereka saling mengajak dan bersepakat untuk
memerangi, menghancurkan kekuatan orang-orang Islam, dan merampas tanah dan
harta orang-orang Islam. Hal ini mereka lakukan dengan mudah. Tak ada kesulitan
apapun yang menghampiri mereka, tak ada bahaya apapun yang akan menimpa mereka,
bahkan tidak ada kekuatan apapun yang mencoba menghalanig mereka. Seperti
sekelompok orang yang makan di sebuah talam. Mereka makan dengan suka ria[1].
Adapun arti “غُثَاءٌ” (buih) adalah tumbuh-tumbuhan yang mengering. Lalu, terdampar
di atas air dan terombang-ambing ke berbagai arah[2].
Ada pula yang mengatakan arti “غُثَاءٌ”
adalah sesuatu yang terombang-ambing di atas air, seperti busa dan sampah-sampah[3].
Artinya, orang-orang Islam benar-benar lemah. Tidak memiliki kekuatan untuk
melawan.
Kenapa? Kenapa umat Islam seperti
buih, banyak tapi diinjak-injak, mayoritas tapi diberantas? Imam al-Qari
mengatakan, karena umat Islam tidak memiliki keberanian alias penakut, tidak
berkualitas, dan tidak memiliki mimpi tinggi. Itulah sebabnya umat Islam
seperti buih.
Lebih lanjut beliau mengatakan,
penyebab semua itu adalah dua hal; musuh tidak gentar dan orang-orang Islam
terjangkit al-Wahn (lemah). Dari mana datangnya al-Wahn? Dari cinta dunia dan takut
mati. Dua hal ini saling berkaitan. Kalau cinta dunia, pasti takut mati. Kalau
takut mati, pasti cinta dunia. Dan dua hal inilah yang menyebabkan seseorang
tidak peduli pada agama[4].
Sederhananya, secara kuantitas
orang-orang Islam itu banyak, tapi secara kualitas sangat nihil. Tidak punya power di hapadapan musuh-musuh Islam. Karena
tidak memiliki keberanian, tidak memiliki hati yang kuat, dan cita-cita yang
tinggi. Mereka lebih mengutamakan dunia dari pada agama.
Uraian Hadis
Syaikah al-Buti mengatakan dalam
kitabnya, Bathin
al-Itsm, ketika mengulas hadis di atas bahwa sumber utama
malapetaka itu (umat Islam seperti buih) adalah cintanya hati kepada dunia.
Dunia menjadi tujuan perjuangan, tidak diletakkan sebagaimana Allah
meletakkannya.
Menurut beliau, yang dimaksud
dunia tidak hanya harta saja. Kedudukan, ketenaran, kekuasaan, perofesi, itu
juga dunia. Sehingga jika ada seseorang yang senang populer, senang mendapatkan
kekuasaan, maka dia juga dikatakan cinta dunia. Intinya, setiap sesutu yang
digandrungi hawa nafsu itu dunia.
Nah, ketika hati sudah terjangkit penyakit cinta dunia, maka
lahirlah penyakit-penyakit hati yang lain. Seperti sombong, ujub, iri, dengki
dan penyakit-penyakit hati yang lain. Penyakit itu terus bercokolan sehingga
membuat seseorang tidak takut siksaan Allah. Perjuangan pun berubah, dari jihad fi sabilillah menjadi jihad karena dunia.
Setelah itu, tidak ada artinya
‘persaudaran Islam’. Persatuan jadi pecah. Sesama muslim tidak saling percaya.
Tidak ada lagi gotong royong dan saling tolong menolong. Bahkan, satu sama
lainnya adu kekuatan. Saling mengalahakan. Umat Islam menjadi berantakan, musuh
tertawa lalu unjuk kekuatan[5].
Senada dengan al-Buthi, Syaikh
Wahbah az-Zuhaili juga mengatakan bahwa sebab umat Islam seperti buih adalah
perpecahan. Menurut beliau, jika umat Islam ingin kuat, ingin berkuasa maka
harus bersatu. Tidak boleh pecah-pecah. Apa yang terjadi di Andalus (sepanyol)
dan Palestina adalah disebabkan oleh ketidak kompakan umat Islam[6].
Imam ats-Tsa’alibi juga
mengatakan, penyebab kelemahan muslim dan beraninya musuh karena orang-orang
Islam cinta dunia, tidak mau berkorban untuk agama, dan tidak mau berjihad di
jalan Allah. Tidak seperti para sahabat Rasulullah. Meski sedikit, mereka ditakuti
musuh. Dan selalu menang di medan pertempuran. Kenapa? Karena yang menjadi
tujuan utama mereka adalah rida Allah. Dunia tidak ada artinya di hati mereka.
Mereka mengorbankan apa yang mereka bisa. Bahkan nyawa pun mereka relakan[7].
Penutup
Akhiran, pengertian hadis di atas bahwa pada suatu saat umat Islam
begitu lemah. Tidak ditakuti musuh. Penyebabnya adalah perpecahan. Dan
perpecahan lahir karena umat Islam mencintai dunia, tidak mau membela Allah,
dan tidak mau memperjuangkan agam-Nya. Sehingga, ukhuwah islamiyah menjadi tidak penting.
Tampaknya, sekarang hadis di atas
benar-benar terjadi. Di mana-mana, umat Islam di-“bully”.Bahkan di negeri yang
mayoritas penduduknya muslim, seperti Indonesia. Umat Islam benar-benar buih.
Penyebabnya adalah hati yang lebih memilih dunia dari pada membela agama.
Wallahu A’lamu Bis Showab
--------------------------------------------------------------------------
[2] Al-Baghawi, Husain bin Mas’ud, Syarh
as-Sunnah, juz: 15, hal: 16, al-Maktab al-Islami, Damaskus.
[6] Az-Zuhaili, Wahbah bin Musthofa, Tafsir al-Munir, juz: 7, hal: 242,
Dar al-Fikr, Beirut, Damaskus.
[7] Ats-Tsa’alibi, Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf, al-Jawahir al-Hisan, juz: 1, hal:
319, Mu’assasah al-A’lami Li al-Mathbu’ah.
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!