Bekerja
adalah keharusan. Selama nafas melekat di badan, kita pasti memiliki kebutuhan.
Kebutuhan hidup. Butuh makan, butuh ini dan itu. Semua itu tidak mungkin kita
dapatkan dengan gratisan. Harus ada pengorbanan. Baik tenaga maupun waktu. Atau
bisa juga disebut bekerja. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal
itu alamiah. Sudah hukum Allah. Makhluk hidup semuanya begitu. Burung terbang
ke sana kemari untuk mencari rizeqi. Cicak menunggui lampu yang sedang
bercahaya untuk menunggu mangsa. Dan setersunya. Mengorbankan tenaga serba
dahsyat.
Rasulullah
saw. sangat mengapresiasi orang yang bekerja. Bekerja itu mulia. Rasulullah
saw. bersabda, “Tidak seorang pun yang memakan makanan yang lebih baik dari
pada orang yang makan dari hasil kerja tangannya (sendiri). Sesungguhnya
Nabiyullah Daud makan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR. Imam Bukhari).
Maka,
orang yang bekerja, lalu mendapat rizeqi dari pekerjaan itu, sangatlah mulia.
Kenapa? Karena nabi-nabi terdahulu juga bekerja. Seperti, Nabi Dawud menjadi
tukang baju besi, Nabi Adam petani, Nabi Nuh tukang kayu, dan Nabi Musa
pengembala.
Para
sahabat Rasulullah juga demikian. Mereka rajin bekerja. Bahkan di antara mereka
juga kaya raya. Sebut saja Sayyidina Ustman. Beliau pedagang ulung, sehingga
menjadi kaya raya. Juga, Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau sangat ahli dalam
menjalankan bisnis. Sampai-sampai beliau pernah mengatakan, “Seakan-akan ketika
aku mengangkat batu, di bawahnya ada emas”.
Namun
yang perlu kita fahami, kaya bukan tujuan utama. Bekerja juga bukan prioritas
utama. Ada hal yang lebih penting dari itu semua. Yaitu, bagaimana kita bisa
mendapat rida Allah swt.. Bekerja boleh. Kaya juga boleh. Namun, berusaha
mendekatkan diri kepada Allah jangan sampai ditinggalkan.
Para
nabi bekerja. Para sahabat Rasulullah juga bekerja. Bahkan sebagian mereka ada
yang kaya raya. Akan tetapi, harta tidak berada di hati mereka. Harta hanya
melekat di tangan, tidak di hati. Tak heran, harta yang mereka miliki
disedekahkan untuk perjuangan dakwah. Misalnya, ketika mau perang dan umat
Islam minim biaya. Para sahabat berlomba-lomba menyumbang. Ada yang menyumbang
separuh harta yang dimiliki, bahkan ada yang semuanya. Ibadah mereka pun luar
biasa. Banyak harta, tapi tetap rajin beribadah.
Bekerja
tidak menghalangi kita beribadah. Bahkan, bekerja bisa dijadikan media untuk
beribadah. Caranya? Pertama, niat yang baik. Niat baik bisa menjadikan
pekerjaan kita bernilai ibadah. Misalnya, kita bekerja untuk mencari nafkah
keluarga, untuk sekolah anak, untuk menjaga keluarga dari minta-minta, dan
seterusnya. Maka, setiap peluh yang menetes akan bernilai pahala.
Kedua, tidak meninggalkan kewajiban. Aktivitas harus ada waktunya.
Mencari uang ada waktunya. Ibadah pun juga ada waktunya. Bekerja dan ibadah
harus sama-sama kita jalankan. Jangan sampai karena bekerja, ibadah jadi
terlupakan. Karena di akhirat nanti, ibadahlah yang kita butuhkan. Allah
berfirman,
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS:
Al-Jum’ah [62]: 10)
Menurut
Sayyid Thontowi dalam Tafsirnya, at-Tafsir al-Wasith, ayat di atas
mengingatkan kita bahwa masalah dunia dan akhirat harus semibang. Kita boleh
bekerja, asal kewajiban sholat sudah kita laksanakan. Sebab, kesuksesan sejati
adalah saat kita mengutamakan urusan agama dari dunia, lebih mengutamakan yang
abadi dari pada yang fana. Pun pula, pekerjaan jangan sampai menghalangi kita
untuk memperbanyak dizikir. Bekerja sambil berdzikir. Berdzikir sambil bekerja.
Jadi,
bekerja itu mulia. Sejak dahulu kala, orang-orang besar juga bekerja. Sebab, bekerja
bukan penghalang untuk mendapatkan pahala. Bahkan, jika diniati dengan baik dan
tidak meninggalkan kewajiban, pekerjaan bisa menjadi ladang pahala. Semoga..!
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!