Sering kita melihat anak muda hidup “seenaknya” saja. Hari-harinya hanya diisi dengan hal yang sama sekali tidak bermenfaat. Dugem, begadang, dan nongkrong di jalanan. Prinsip mereka mumpung masih muda. Padahal, masa muda adalah penentu masa tua. Masa muda menjadi tolak ukur kehidupan di masa berikutnya.
Dalam hal ini, konsep yang sangat sesuai adalah “Barang siapa yang menanam, dialah yang memanen”. Tentu, menanam dan memanen memiliki renggang waktu. Setelah menanam, tidak langsung memanen. Tidak. Semua ada waktunya. Nah, dalam kehidupan ini, masa muda adalah waktu menanam, masa tua waktu memanen.
Tahu Tere Leye menuliskan dalam salah satu novelnya, “Masa lalu, hari ini, dan masa depan akan saling berkelindan.” Maksudnya? Bahwa setiap fase dalam kehidupan kita pasti berkaitan dengan fase kehidupan yang lain. Hari ini menjadi “seperti sekarang ini” karena di masa lalu kita “seperti itu”. Masa depan akan “begitu” jika hari ini kita “begini”. Sekali lagi, masa lalu, hari ini, dan masa depan akan saling berkelindan.
Karenanya, kita harus menggunakan masa muda hanya untuk yang berguna. Berguna untuk masa depan. Terutama masa depan akhirat. Jangan bilang hidup hanya satu kali. Sering kali, kata “hidup hanya satu kali” menjadi alasan untuk menikmati masa muda tanpa aturan. Memang hidup di dunia hanya satu kali, tapi akan dipertanggung jawabkan nanti di akhirat.
Sejak dulu kala, Rasulullah mewanti-wanti agar arif menggunakan masa muda. Beliau bersabda, “Prolehlah lima perkara sebelum lima perkara; masa mudamu sebelum masa tuamu; sehatmu sebelum sakitmu; kayamu sebelum fakirmu; kesempatanmu sebelum sibukmu; hidupmu sebelum matimu.” (HR. Imam Baihaqi)
Sederhananya, Rasulullah mengajak kepada kita agar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Masa muda adalah kesempatan. Maka harus kita gunakan sebaik-baiknya. Sebab, kita belum tahu kapan kesempatan itu sirna. Bisa tahun depan, bulan depan, minggu depan, behkan besok. Kita tidak tahu. Juga, masa muda tidak selamanya. Suatu saat, akan hilang selamanya. Dan kita tak akan pernah merasakan betapa berartinya masa muda sebelum masa tua telah tiba.
Dalam Kiatab Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa orang cerdas (‘Aqil) tidak akan menunggu pagi ketika sore dan tidak akan menunggu sore ketika pagi. Bahkan, dia memperkirakan ajal akan merenggut segalanya sebelum sore dan pagi tiba. Gampangnya, orang cerdas tidak akan menunda-nuda. Kalau ada kesempatan, langsung aksi. Apa lagi mengenai amal ibadah. Sebab, bisa jadi kalau menunda, malah kehilangan kesempatan melakukannya.
Memang, menggunakan masa muda dengan baik itu tidak semudah membolak-balikkan telapak tangan. Butuh pengorbanan dan kesungguhan. Tapi, jika kita optimis, kita pasti bisa. Coba lihat Abdullah bin ‘Abbas, sahabat junior yang menjadi salah satu tonggak keilmuan Islam.
Suatu hari setelah Rasulullah wafat, Abdullah bin Abbas mengajak teman sebayanya untuk menghafalkan hadis dari para sahabat. Kala itu Ibnu Abbas masih berumur belasan tahun. “Ayo kita bertanya kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Mumpung mereka masih banyak,” kata Ibnu Abbas.
Apakah ajakan Ibnu ‘Abbas dituruti? Tidak. Malah teman Ibnu ‘Abbas itu mencemoh. Tampaknya dia pesimis. “Saya heran kepadamu wahai Ibnu ‘Abbas! Apakah kamu mengira orang-orang akan butuh kepadamu, sedangkan sahabat-sahabat Rasulullah ada ditengah-tengah mereka?” katanya.
Ibun ‘Abbas pun tidak menghiraukan ucapan temannya itu. Beliau pergi dan langsung aksi. Beliau pergi dari rumah ke rumah para sahabat untuk mendapatkan hadis lalu menghafalnya. Setiap mendengar bahwa di suatu tempat ada orang yang hafal hadis, Ibnu Abbas akan mendatanginya. Beliau tidak mengetok pintu. Beliau menunnggu di luar rumah sampai pemilik rumah keluar. Ganasnya hawa padang pasir tidak menyurutkan niat beliau belajar.
Beberapa tahun kemudian, Ibnu ‘Abbas menjadi orang alim. Hafal banyak hadis. Orang-oranng banyak yang datang untuk belajar kepada beliau. Teman beliau yang dulu mencemoh akhirnya mengakui kehebatan beliau. Dia berkata ketika melihat Ibnu Abbas, “Pemuda ini lebih cerdas dariku.”
Tidak ingin seperti Ibnu ‘Abbas? Menjadi orang yang diorangkan? Jawaban pasti ingin. Kalau menjawab tidak, harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Namun, Sayyidina ‘Abdullah bin ‘Abbas tidak moro-moro menjadi orang besar. Bimsalabin jadi. Tidak. Beliau melewati waktu yang begitu panjang. Perjuangan yang begitu dahsyat. Beliau datang ke rumah-rumah. Melawan panas dan letih. Bahkan, beliau harus menunggu di depan rumah berjam-jam. Dahsyat bukan? Jadi, Ibnu ‘Abbas menanam di saat muda, memanen ketika tua. Semoga kita bisa!
Dalam hal ini, konsep yang sangat sesuai adalah “Barang siapa yang menanam, dialah yang memanen”. Tentu, menanam dan memanen memiliki renggang waktu. Setelah menanam, tidak langsung memanen. Tidak. Semua ada waktunya. Nah, dalam kehidupan ini, masa muda adalah waktu menanam, masa tua waktu memanen.
Tahu Tere Leye menuliskan dalam salah satu novelnya, “Masa lalu, hari ini, dan masa depan akan saling berkelindan.” Maksudnya? Bahwa setiap fase dalam kehidupan kita pasti berkaitan dengan fase kehidupan yang lain. Hari ini menjadi “seperti sekarang ini” karena di masa lalu kita “seperti itu”. Masa depan akan “begitu” jika hari ini kita “begini”. Sekali lagi, masa lalu, hari ini, dan masa depan akan saling berkelindan.
Karenanya, kita harus menggunakan masa muda hanya untuk yang berguna. Berguna untuk masa depan. Terutama masa depan akhirat. Jangan bilang hidup hanya satu kali. Sering kali, kata “hidup hanya satu kali” menjadi alasan untuk menikmati masa muda tanpa aturan. Memang hidup di dunia hanya satu kali, tapi akan dipertanggung jawabkan nanti di akhirat.
Sejak dulu kala, Rasulullah mewanti-wanti agar arif menggunakan masa muda. Beliau bersabda, “Prolehlah lima perkara sebelum lima perkara; masa mudamu sebelum masa tuamu; sehatmu sebelum sakitmu; kayamu sebelum fakirmu; kesempatanmu sebelum sibukmu; hidupmu sebelum matimu.” (HR. Imam Baihaqi)
Sederhananya, Rasulullah mengajak kepada kita agar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Masa muda adalah kesempatan. Maka harus kita gunakan sebaik-baiknya. Sebab, kita belum tahu kapan kesempatan itu sirna. Bisa tahun depan, bulan depan, minggu depan, behkan besok. Kita tidak tahu. Juga, masa muda tidak selamanya. Suatu saat, akan hilang selamanya. Dan kita tak akan pernah merasakan betapa berartinya masa muda sebelum masa tua telah tiba.
Dalam Kiatab Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa orang cerdas (‘Aqil) tidak akan menunggu pagi ketika sore dan tidak akan menunggu sore ketika pagi. Bahkan, dia memperkirakan ajal akan merenggut segalanya sebelum sore dan pagi tiba. Gampangnya, orang cerdas tidak akan menunda-nuda. Kalau ada kesempatan, langsung aksi. Apa lagi mengenai amal ibadah. Sebab, bisa jadi kalau menunda, malah kehilangan kesempatan melakukannya.
Memang, menggunakan masa muda dengan baik itu tidak semudah membolak-balikkan telapak tangan. Butuh pengorbanan dan kesungguhan. Tapi, jika kita optimis, kita pasti bisa. Coba lihat Abdullah bin ‘Abbas, sahabat junior yang menjadi salah satu tonggak keilmuan Islam.
Suatu hari setelah Rasulullah wafat, Abdullah bin Abbas mengajak teman sebayanya untuk menghafalkan hadis dari para sahabat. Kala itu Ibnu Abbas masih berumur belasan tahun. “Ayo kita bertanya kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Mumpung mereka masih banyak,” kata Ibnu Abbas.
Apakah ajakan Ibnu ‘Abbas dituruti? Tidak. Malah teman Ibnu ‘Abbas itu mencemoh. Tampaknya dia pesimis. “Saya heran kepadamu wahai Ibnu ‘Abbas! Apakah kamu mengira orang-orang akan butuh kepadamu, sedangkan sahabat-sahabat Rasulullah ada ditengah-tengah mereka?” katanya.
Ibun ‘Abbas pun tidak menghiraukan ucapan temannya itu. Beliau pergi dan langsung aksi. Beliau pergi dari rumah ke rumah para sahabat untuk mendapatkan hadis lalu menghafalnya. Setiap mendengar bahwa di suatu tempat ada orang yang hafal hadis, Ibnu Abbas akan mendatanginya. Beliau tidak mengetok pintu. Beliau menunnggu di luar rumah sampai pemilik rumah keluar. Ganasnya hawa padang pasir tidak menyurutkan niat beliau belajar.
Beberapa tahun kemudian, Ibnu ‘Abbas menjadi orang alim. Hafal banyak hadis. Orang-oranng banyak yang datang untuk belajar kepada beliau. Teman beliau yang dulu mencemoh akhirnya mengakui kehebatan beliau. Dia berkata ketika melihat Ibnu Abbas, “Pemuda ini lebih cerdas dariku.”
Tidak ingin seperti Ibnu ‘Abbas? Menjadi orang yang diorangkan? Jawaban pasti ingin. Kalau menjawab tidak, harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Namun, Sayyidina ‘Abdullah bin ‘Abbas tidak moro-moro menjadi orang besar. Bimsalabin jadi. Tidak. Beliau melewati waktu yang begitu panjang. Perjuangan yang begitu dahsyat. Beliau datang ke rumah-rumah. Melawan panas dan letih. Bahkan, beliau harus menunggu di depan rumah berjam-jam. Dahsyat bukan? Jadi, Ibnu ‘Abbas menanam di saat muda, memanen ketika tua. Semoga kita bisa!
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!