Baru-baru ini ada tulisan ngawur yang perlu ditanggapi. Tulisan itu mengatakan, Rasulullah saw. memindah kiblat dan Baitul Maqdis ke Kakbah karena frustasi dan kecewa kepada Yahudi yang tidak menginguti ajaran beliau. Sebelumnya, Rasulullah berharap Yahudi mengikuti ajakan beliau. Untuk itu, Rasulullah membenarkan bahkan mengerjakan sebagian ibadah Yahudi, seperti berpuasa pada hari Asyura’ dan memindah kiblat ke Baitul Maqdis. Karena Yahudi ternyata tetap tidak mememluk Islam, beliaupun Frustasi dan memindah Kiblat ke Kakbah.
Tulisan nyeleneh itu ditulis oleh @MunimSirry. Beliau mendalami studi keislamannya di Amerika. Tidak heran jika pemikirannya liberal. Agar pembaca lebih memahami, saya lampirkan teks asli dari penggalan artikel beliau di bawah ini.
Seperti jamak diketahui, begitu tiba di Madinah setelah menghadapi banyak kesulitan di kota kelahirannya, Mekkah, Nabi Muhammad mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, 10 Muharram. Dalam tradisi Yahudi, hari itu disebut Yom Kippur (hari pengampunan). Yakni, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil, dan Nabi Musa berpuasa sebagai wujud syukur.
Setelah mendengar penjelasan orang-orang Yahudi, Nabi bersabda, “Saya lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.”
Saya kira ada aspek lain dari ajaran Nabi soal puasa hari Asyura tersebut. Yaitu, terkait sikap Nabi yang mengeras terhadap orang-orang Yahudi. Ada banyak alasan untuk meyakini bahwa semasa masih di Mekkah, Nabi mengimpikan kaum Yahudi akan mengakui kenabian dan mengikuti ajarannya. Mereka meyakini agama tauhid, kitab suci mereka juga dikonfirmasi oleh al-Qur’an. Untuk mendapat dukungan mereka, Nabi membenarkan—dan bahkan mengamalkan—praktik keagamaan mereka, seperti salat menghadap ke Yerusalem, berpuasa pada Yom Kippur.
Namun setelah kecewa dengan penolakan orang-orang Yahudi, Nabi mengubah arah kiblat salat dari Yerusalem ke Mekkah. Bagi banyak sarjana modern, perubahan kiblat itu merupakan sikap frustrasi Nabi atas penolakan kaum Yahudi. Bukan hanya perubahan arah kiblat, Nabi juga menetapkan kewajiban puasa pada bulan Ramadhan, sementara status puasa Asyura “diturunkan” menjadi sunnah saja.
Baca lengkapnya di: http://geotimes.co.id/bagaimana-ramadhan-menjadi-bulan-paling-agung/
Dalam ulasan di atas, ada dua poin yang begitu menggelitik. Pertama, Rasulullah memindah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah karena beliau frustasi. Kedua, Rasulullah membenarkan bahkan mengamalkan peraktek keagamaan Yahudi untuk mendapat dukungan mereka. Pertanyaannya, benarkah Rasulullah seperti itu? Bukankah semua pekerjaan Rasulullah itu beralandaskan wahyu?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita ulas dari poin pertama. Pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah karena frustasi jelas tidak benar. Sebab, Rasulullah memindah kiblat ke Kakbah karena ada wahyu dari Allah swt.. Bukan karean kecewa atau frustasi. Ayat yang memerintahkan agar Rasulullah berpindah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah terdapat dalam surat al-Baqarah. Allah berfirman,
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah[02] : 144)
Para mufassirin megataka bahwa ayat di atas merupakan ayat yang memerintah agar Rasulullah saw. berpindah kiblat. Imam Ibnu Katsir memaparkan kornologi pemindahan kiblat dengan sangat jelas. Belaiu mengatakan menuqil riwayat Ali bin Abi Thalhah, “Ayat pertama yang dinusakh dalam al-Qur’an adalah ayat tentang kiblat. Hal itu berdasarkan sejarah bahwa ketika Rasululllah saw. hijrah ke Madinah –dan penduduk Madinah banyak orang Yahudi- Allah memerintah beliau untuk menghadap Baitul Maqdis. Maka bahagialah orang-orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis lebih dari 10 bulan. Sebenarnya, Rasulullah senang pada kiblatnya Ibrahim (Kakbah). Maka Rasulullah saw. berdoa dan melihat ke langit (kerena berharap kiblat dipindah ke Kakbah). Lalu, Allah menurunkan ayat di atas. Mendapati kenyataan kiblat dipindah ke Kakbah, orang-orang Yahudi galau. Mereka mengatakan, “Apa yang membuat mereka pindah kiblat?” Allahpun menjawab perkataan mereka dengan ayat berikut[1],
قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah: 142)
Dengan penjelasan di atas, pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah bukan karena Rasulullah frustasi. Tapi, karena memang Allah swt. yang memerintah beliau.
Poin kedua: Rasulullah membenarkan bahkan mengamalkan praktek keagamaan Yahudi, seperti salat menghadap ke Yerusalem, berpuasa pada Yom Kippur. Asumsi @MunimSirry ini sangatlah tidak benar dan mengada-ngada. Sebab, Rasulullah tidak pernah membenarkan agama Yahudi. Kalau Rasulullah membenarkan agama Yahudi, berarti agama Yahudi benar. Kalau agama Yahudi benar, kenapa beliau harus repot-repot berdakwah kepada Yahudi. Wong sama-sama benar. Tapi kenyataannya, Rasulullah mengajak mereka masuk Islam. Dan, diantara mereka ada yang masuk Islam.
Lagi pula, menghadapanya Rasulullah ke Baitul Maqdis (Yerusalem; bahasa penulis) bukan dalam rangka mencari dukungan Yahudi dan bukan dalam rangka membenarkan agama Yahudi. Rasulullah berkbilat ke Baitul Maqdis karena perintah Allah swt..
Bahkan, kalau kita mencoba mengkaji al-Qur’an kita akan tahu bahwa sebenarnya Rasulullah saw. lebih suka berkiblat ke Kakbah daripada ke Baitul Maqdis. Kesimpulan ini, para ulama mufassirin berpegangan keapda lafadz ‘تَرْضَاهَا’ (kiblat yang kamu sukai) dalam ayat di atas.
Menurut Imam Mawardi ada dua pendapat kenapa Rasulullah lebih suka berkiblat ke Kakbah. Pendapat pertama mengatakan karena Rasulullah ingin berbeda dengan Yahudi. Sebab, sebelumnya Yahudi pernah mengatakan, “Dia (Nabi Muhammad) mengikuti kiblat kita dan menyalahi agama kita.” Pendapat kedua, karena Kakbah adalah kiblat Nabi Ibrahim, sehingga orang Arab akan gampang memeluk agama Islam.
Apakah Rasulullah tidak suka kepada perintah Allah? Bukankah berkiblat ke Baitul Maqdis perintah Allah? Bukan begitu maksudnya. Rasulullah tetap mencintai perintah Allah. Apa yang diperintah Allah pasti beliau kerjakan dengan senang hati. Tapi, secara naluriah kemanusiaannya, beliau senang berkiblat ke Kakbah karena dua alasan di atas[2]. Dengan demikian, ketika kiblat dipindah oleh Allah ke Kakbah, Rasulullah tidak mungkin frustasi. Sebab, hal itu mencocoki keinginan beliau.
Mengenai puasa Rasulullah saw. pada hari Yom Kippur (Asyura’) juga tidak benar jika dijadikan pijakan bahwa beliau membenarkan dan mengamalkan praktek keagamaan Yahudi. Sebab menurut ulama ahli hadis Rasulullah memang lebih berhak berpuasa pada hari Asyura’ daripada orang Yahudi. Hal itu dikarenakan Rasulullah dan Nabi Musa memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mengajak pada tauhid serta Rasulullah membenarkan kitab Nabi Musa, sedangkan orang Yahudi sudah tidak sama (menyalahi) ajaran Nabi Musa. Mereka sudah men-tahrif dan merubahnya. Oleh karena itulah, Rasulullah lebih berhak berpuasa pada hari Asyura sebagai rasa syukur atas kesalamatan Nabi Musa. Jadi bukan membenarkan agama Yahudi yang sudah keliru, tapi menyamaii Nabi Musa, karena satu keluarga, penyeru Tauhid[3].
Alakullihal, dalam pemindahan kiblat dari Kakbah ke Baitul Maqdis atau dari Baitul Maqdis ke Kakbah sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah peribadi Rasulullah. Misalnya, Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis agar mendapat dukungan dari Yahudi. Tidak. Atau Rasulullah beralih menghadap ke Kakbah karena kecewa atau frustasi atas tingkah laku Yahudi juga tidak. Rasulullah menghadap ke Batiul Maqdis atau ke Kakbah berdasarkan wahyu dari Allah swt.. Hal ini diamini oleh ulama mufassirin. Syaikh Showi mengatakan dalam tafsirnya, Hasyiyah as-Showi bahwa masalah menghadapnya Rasulullah ke Baitul Maqdis atau ke Kakbah adalah Ta’abbudi (murni ibadah) yang tidak bisa dijangkau akal apa hikmah yang terkandung di dalamnya[4].
[1] Ibnu Katsir, Abul Fida’ bin Umar, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, hal: 391, Juz: 1, Daru Thoyyibah.
[2] Al-Mawardi, Abul Hasan Ali bin Muhammad, an-Nukat wa al-Uyun, hal: 202, juz: 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Lebanon.
[3] At-Tibirizi, Waliyuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abdullah, Misykah al-Mshobih, hal: 193, Juz: 7, Maktabah Syamilah
[4] Al-Maliki, Ahmad Showi, Hasyiyah as-Showi, hal:94, Juz: 1, Al-Hidayah, Surabaya.
Tulisan nyeleneh itu ditulis oleh @MunimSirry. Beliau mendalami studi keislamannya di Amerika. Tidak heran jika pemikirannya liberal. Agar pembaca lebih memahami, saya lampirkan teks asli dari penggalan artikel beliau di bawah ini.
***
Seperti jamak diketahui, begitu tiba di Madinah setelah menghadapi banyak kesulitan di kota kelahirannya, Mekkah, Nabi Muhammad mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, 10 Muharram. Dalam tradisi Yahudi, hari itu disebut Yom Kippur (hari pengampunan). Yakni, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil, dan Nabi Musa berpuasa sebagai wujud syukur.
Setelah mendengar penjelasan orang-orang Yahudi, Nabi bersabda, “Saya lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.”
Saya kira ada aspek lain dari ajaran Nabi soal puasa hari Asyura tersebut. Yaitu, terkait sikap Nabi yang mengeras terhadap orang-orang Yahudi. Ada banyak alasan untuk meyakini bahwa semasa masih di Mekkah, Nabi mengimpikan kaum Yahudi akan mengakui kenabian dan mengikuti ajarannya. Mereka meyakini agama tauhid, kitab suci mereka juga dikonfirmasi oleh al-Qur’an. Untuk mendapat dukungan mereka, Nabi membenarkan—dan bahkan mengamalkan—praktik keagamaan mereka, seperti salat menghadap ke Yerusalem, berpuasa pada Yom Kippur.
Namun setelah kecewa dengan penolakan orang-orang Yahudi, Nabi mengubah arah kiblat salat dari Yerusalem ke Mekkah. Bagi banyak sarjana modern, perubahan kiblat itu merupakan sikap frustrasi Nabi atas penolakan kaum Yahudi. Bukan hanya perubahan arah kiblat, Nabi juga menetapkan kewajiban puasa pada bulan Ramadhan, sementara status puasa Asyura “diturunkan” menjadi sunnah saja.
Baca lengkapnya di: http://geotimes.co.id/bagaimana-ramadhan-menjadi-bulan-paling-agung/
***
Dalam ulasan di atas, ada dua poin yang begitu menggelitik. Pertama, Rasulullah memindah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah karena beliau frustasi. Kedua, Rasulullah membenarkan bahkan mengamalkan peraktek keagamaan Yahudi untuk mendapat dukungan mereka. Pertanyaannya, benarkah Rasulullah seperti itu? Bukankah semua pekerjaan Rasulullah itu beralandaskan wahyu?
Karena Perintah Allah SWT
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita ulas dari poin pertama. Pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah karena frustasi jelas tidak benar. Sebab, Rasulullah memindah kiblat ke Kakbah karena ada wahyu dari Allah swt.. Bukan karean kecewa atau frustasi. Ayat yang memerintahkan agar Rasulullah berpindah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah terdapat dalam surat al-Baqarah. Allah berfirman,
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah[02] : 144)
Para mufassirin megataka bahwa ayat di atas merupakan ayat yang memerintah agar Rasulullah saw. berpindah kiblat. Imam Ibnu Katsir memaparkan kornologi pemindahan kiblat dengan sangat jelas. Belaiu mengatakan menuqil riwayat Ali bin Abi Thalhah, “Ayat pertama yang dinusakh dalam al-Qur’an adalah ayat tentang kiblat. Hal itu berdasarkan sejarah bahwa ketika Rasululllah saw. hijrah ke Madinah –dan penduduk Madinah banyak orang Yahudi- Allah memerintah beliau untuk menghadap Baitul Maqdis. Maka bahagialah orang-orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis lebih dari 10 bulan. Sebenarnya, Rasulullah senang pada kiblatnya Ibrahim (Kakbah). Maka Rasulullah saw. berdoa dan melihat ke langit (kerena berharap kiblat dipindah ke Kakbah). Lalu, Allah menurunkan ayat di atas. Mendapati kenyataan kiblat dipindah ke Kakbah, orang-orang Yahudi galau. Mereka mengatakan, “Apa yang membuat mereka pindah kiblat?” Allahpun menjawab perkataan mereka dengan ayat berikut[1],
قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah: 142)
Dengan penjelasan di atas, pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah bukan karena Rasulullah frustasi. Tapi, karena memang Allah swt. yang memerintah beliau.
Lebih Menyukai Kakbah
Poin kedua: Rasulullah membenarkan bahkan mengamalkan praktek keagamaan Yahudi, seperti salat menghadap ke Yerusalem, berpuasa pada Yom Kippur. Asumsi @MunimSirry ini sangatlah tidak benar dan mengada-ngada. Sebab, Rasulullah tidak pernah membenarkan agama Yahudi. Kalau Rasulullah membenarkan agama Yahudi, berarti agama Yahudi benar. Kalau agama Yahudi benar, kenapa beliau harus repot-repot berdakwah kepada Yahudi. Wong sama-sama benar. Tapi kenyataannya, Rasulullah mengajak mereka masuk Islam. Dan, diantara mereka ada yang masuk Islam.
Lagi pula, menghadapanya Rasulullah ke Baitul Maqdis (Yerusalem; bahasa penulis) bukan dalam rangka mencari dukungan Yahudi dan bukan dalam rangka membenarkan agama Yahudi. Rasulullah berkbilat ke Baitul Maqdis karena perintah Allah swt..
Bahkan, kalau kita mencoba mengkaji al-Qur’an kita akan tahu bahwa sebenarnya Rasulullah saw. lebih suka berkiblat ke Kakbah daripada ke Baitul Maqdis. Kesimpulan ini, para ulama mufassirin berpegangan keapda lafadz ‘تَرْضَاهَا’ (kiblat yang kamu sukai) dalam ayat di atas.
Menurut Imam Mawardi ada dua pendapat kenapa Rasulullah lebih suka berkiblat ke Kakbah. Pendapat pertama mengatakan karena Rasulullah ingin berbeda dengan Yahudi. Sebab, sebelumnya Yahudi pernah mengatakan, “Dia (Nabi Muhammad) mengikuti kiblat kita dan menyalahi agama kita.” Pendapat kedua, karena Kakbah adalah kiblat Nabi Ibrahim, sehingga orang Arab akan gampang memeluk agama Islam.
Apakah Rasulullah tidak suka kepada perintah Allah? Bukankah berkiblat ke Baitul Maqdis perintah Allah? Bukan begitu maksudnya. Rasulullah tetap mencintai perintah Allah. Apa yang diperintah Allah pasti beliau kerjakan dengan senang hati. Tapi, secara naluriah kemanusiaannya, beliau senang berkiblat ke Kakbah karena dua alasan di atas[2]. Dengan demikian, ketika kiblat dipindah oleh Allah ke Kakbah, Rasulullah tidak mungkin frustasi. Sebab, hal itu mencocoki keinginan beliau.
Mengenai puasa Rasulullah saw. pada hari Yom Kippur (Asyura’) juga tidak benar jika dijadikan pijakan bahwa beliau membenarkan dan mengamalkan praktek keagamaan Yahudi. Sebab menurut ulama ahli hadis Rasulullah memang lebih berhak berpuasa pada hari Asyura’ daripada orang Yahudi. Hal itu dikarenakan Rasulullah dan Nabi Musa memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mengajak pada tauhid serta Rasulullah membenarkan kitab Nabi Musa, sedangkan orang Yahudi sudah tidak sama (menyalahi) ajaran Nabi Musa. Mereka sudah men-tahrif dan merubahnya. Oleh karena itulah, Rasulullah lebih berhak berpuasa pada hari Asyura sebagai rasa syukur atas kesalamatan Nabi Musa. Jadi bukan membenarkan agama Yahudi yang sudah keliru, tapi menyamaii Nabi Musa, karena satu keluarga, penyeru Tauhid[3].
Bukan Frustasi, tapi Ta’abbudi
Alakullihal, dalam pemindahan kiblat dari Kakbah ke Baitul Maqdis atau dari Baitul Maqdis ke Kakbah sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah peribadi Rasulullah. Misalnya, Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis agar mendapat dukungan dari Yahudi. Tidak. Atau Rasulullah beralih menghadap ke Kakbah karena kecewa atau frustasi atas tingkah laku Yahudi juga tidak. Rasulullah menghadap ke Batiul Maqdis atau ke Kakbah berdasarkan wahyu dari Allah swt.. Hal ini diamini oleh ulama mufassirin. Syaikh Showi mengatakan dalam tafsirnya, Hasyiyah as-Showi bahwa masalah menghadapnya Rasulullah ke Baitul Maqdis atau ke Kakbah adalah Ta’abbudi (murni ibadah) yang tidak bisa dijangkau akal apa hikmah yang terkandung di dalamnya[4].
[1] Ibnu Katsir, Abul Fida’ bin Umar, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, hal: 391, Juz: 1, Daru Thoyyibah.
[2] Al-Mawardi, Abul Hasan Ali bin Muhammad, an-Nukat wa al-Uyun, hal: 202, juz: 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Lebanon.
[3] At-Tibirizi, Waliyuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abdullah, Misykah al-Mshobih, hal: 193, Juz: 7, Maktabah Syamilah
[4] Al-Maliki, Ahmad Showi, Hasyiyah as-Showi, hal:94, Juz: 1, Al-Hidayah, Surabaya.
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!