Menikah adalah fitrah manusia. Menikah tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan. Dengan menikah itulah kehidupan terus berkenisambungan. Islam tidak melarang pemeluknya untuk menikah. Siapapun dan di manapun. Bagi orang yang sudah waktunya dan memiliki cukup ‘modal’ sangat dianjurkan untuk menikah. Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Nikah itu sunahku. Barang siapa yang membenci sunahku, dia bukan golonganku.”
Namun demikian, Islam tidak hanya menganjurkan menikah, tapi juga bagaimana pernikahan itu sakinah. Pernikahan yang dipenuhi dengan gelak tawa. Bukan penjara yang menyesakkan dada. Tak heran jika Islam memberi kereteria-kereteria siapa saja yang harus dipilih untuk dinikahi. Akan tetapi, kereteria yang paling ditekankan adalah kesalehan diri. Dengan kesalehan diri, seseorang bisa menghadapi masalah dengan tenang hati. Bisa memperlakukan pasangan sesuai dengan bimbingan yang diajarkan nabi.
Begitu banyak cara agar rumah tangga sakinah. Diantaranya adalah menciptakan keromantisan. Keromantisan merupakan kunci utama menjalani hidup bersama pasangan. Dengan sikap romantis dari kedua pasangan, hidup di dunia bagai di surga. Perasaan haru biru dan berbunga. Seakan dunia milik berdua. Tak heran jika Rasulullah saw, memotivasi agar suami-istri sama-sama memiliki keromantisan. Rasulullah bersabda,
إنَّ الرَّجُلَ إِذَا نَظَرَ إِلَى اِمْرَأَتِهِ وَنَظَرَتْ إِلَيْهِ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِمَا نَظْرَةَ رَحْمَةٍ فَإِذَا أَخَذَ بِكَفِّهَا تَسَاقَطَتْ ذُنُوبُهُمَا مِنْ خِلَالِ أَصَابِعِهِمَا[1]
“Sesungguhnya, seorang laki-laki (suami) ketika melihat kepada istrinya dan istrinya melihat dia maka Allah melihat keduanya dengan kasih sayang. Jika suami memegang tangan istrinya, maka berguguranlah dosa-dosa dari celah jari-jari keduanya.”
Sungguh indah, jika kita bisa mengamalkan hadis di atas. Bayangkan, seorang suami memandang wajah istrinya lekat-lekat. Istri pun membalas tatapan itu. Mata mereka bertemu. Mereka saling pandang. Dengan rasa kasih yang mendalam. Lalu, suami memegang tangan istri. Erat. Istri pun membalasnya. Lekat. Seakan mereka saling berjanji: kita sehidup semati. Indah bukan?
Selain itu, Rasulullah saw. juga mengajari kita keromantisan dengan uswah, teladan. Hal ini banyak diceritakan oleh istri beliau. Seperti yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah. Suatu ketika Rasulullah berdiam di pintu kamar Sayyidah Aisyah. Beliau menemani Sayyidah Aisyah sambil menutupi tubuhnya dengan selendang agar tidak terlihat orang yang bukan mahram. Sedangkan Sayyidah Aisyah menikmati aksi pertunjukan dari orang Habsyah yang ada dalam Masjid[2].
Dalam riwayat lain, pada suatu hari ‘Id, datanglah orang-orang Sudan. Mereka beratraksi di depan Rasulullah saw.. Maka Rasulullah memanggil Sayyidah Aisyah. Sayyidah Aisyah pun datang dan melihat orang-orang Sudan itu dari atas bahu nabi. Sayyidah Aisyah terus melihatnya sampai Aisyah berpaling sendiri[3]. Konon, Rasulullah juga kadang berlomba lari-lari dengan Sayyidah Aisyah. Awalnya, Sayyidah Aisyah menang. Setelah gemuk, Sayyidah Aisyah kalah[4].
Dari kisah di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa sakali-kali kita butuh berduaan dengan istri. Bercengkrama memadu kasih. Jalan-jalan berdua ke tempat istimewa. Tentu, dengan niat agar cinta antara keduanya semakin dalam, sehingga satu sama lain bisa terjaga dari cinta yang tidak diingingkan. Dengan kata lain, suami-istri bisa iffah. Bisa terhindar dari terjerumus dalam dosa. Sebab, itulah yang menjadi tujuan utama dari sebuah pernikahan. Namun demikian, saat jalan bersama harus tetap menjaga norma-norma agama. Jangan sampai karena alasan keromantisan melanggar ajaran Islam.
Selain itu, suami istri juga harus menciptakan keromantisan dalam ibadah. Maksudnya? Sambil beribadah sambil memadu kasih. Hal ini pernah di-dawuhkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud. Rasulullah bersabda,
رَحِمَ اللهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ اِمْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فَيْ وَجْهِهَا اَلْمَاءَ رَحِمَ اللهُ اِمْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَي نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ اَلمْاَءَ
“Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun malam lalu salat. Dan, dia membangunkan istrinya. Jika istri tidak mau, dia memercikkan air kepada wajah istri. Allah juga menyayangi wanita yang bangun malam lalu salat. Dan, membangunkan suaminya. Jika suami tidak mau, dia memercikkan air ke wajah suami.” (HR. Abu Daud)
Menurut Syaikh Waliyuddin at-Tibrizi dalam kitanya, Misykah al-Masabih, Rasulullah mengatakan ‘memercikkan air untuk membangunkan pasangan’ itu sebagai bentuk sikap talattuf (lembut). Suami bersikap lembut saat mengajak sang istri bermunajat pada Allah. Istri bersikap lembut saat mengajak suami bersimpuh di hadapan Allah. Tentu, hal ini merupakan romantis abadi. Sebab, indahnya keromantisan ini tidak hanya dirasakan di dunia, tapi juga akan berlanjut sampai di akhirat.
Jadi, Pandanglah mata istri dalam-dalam. Balas pandangan suami sambil menyungging senyuman. Peganglah tangan istri dengan syahdu. Eratkan pegangan suami dengan rindu yang memburu. Pula, saling membantu dalam kebaikan dan memenuhi kewajiban. Misalnya, suami belum salat, istri mengingatkan. Istri belum salat, suami yang mengingatkan. Jika demikian, Allah akan mencurahkan kasih sayang. Begitulah, indahnya keromantisan.
[1] Hadis di atas, disebutkan dalam kitab Jami’ al-Ahadits oleh Imam Syuthi. Juga dalam kitab Kanzu al-Ummal Fi Sunan al-Aqwal Wa al-Af’al oleh Ala’uddin Ali bin Hisamuddin
[2] Shohih Bukhari, 1/464
[3] Sunan al-Kubro Li an-Nasa’I 1/553
[4] Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi
Namun demikian, Islam tidak hanya menganjurkan menikah, tapi juga bagaimana pernikahan itu sakinah. Pernikahan yang dipenuhi dengan gelak tawa. Bukan penjara yang menyesakkan dada. Tak heran jika Islam memberi kereteria-kereteria siapa saja yang harus dipilih untuk dinikahi. Akan tetapi, kereteria yang paling ditekankan adalah kesalehan diri. Dengan kesalehan diri, seseorang bisa menghadapi masalah dengan tenang hati. Bisa memperlakukan pasangan sesuai dengan bimbingan yang diajarkan nabi.
Begitu banyak cara agar rumah tangga sakinah. Diantaranya adalah menciptakan keromantisan. Keromantisan merupakan kunci utama menjalani hidup bersama pasangan. Dengan sikap romantis dari kedua pasangan, hidup di dunia bagai di surga. Perasaan haru biru dan berbunga. Seakan dunia milik berdua. Tak heran jika Rasulullah saw, memotivasi agar suami-istri sama-sama memiliki keromantisan. Rasulullah bersabda,
إنَّ الرَّجُلَ إِذَا نَظَرَ إِلَى اِمْرَأَتِهِ وَنَظَرَتْ إِلَيْهِ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِمَا نَظْرَةَ رَحْمَةٍ فَإِذَا أَخَذَ بِكَفِّهَا تَسَاقَطَتْ ذُنُوبُهُمَا مِنْ خِلَالِ أَصَابِعِهِمَا[1]
“Sesungguhnya, seorang laki-laki (suami) ketika melihat kepada istrinya dan istrinya melihat dia maka Allah melihat keduanya dengan kasih sayang. Jika suami memegang tangan istrinya, maka berguguranlah dosa-dosa dari celah jari-jari keduanya.”
Sungguh indah, jika kita bisa mengamalkan hadis di atas. Bayangkan, seorang suami memandang wajah istrinya lekat-lekat. Istri pun membalas tatapan itu. Mata mereka bertemu. Mereka saling pandang. Dengan rasa kasih yang mendalam. Lalu, suami memegang tangan istri. Erat. Istri pun membalasnya. Lekat. Seakan mereka saling berjanji: kita sehidup semati. Indah bukan?
Selain itu, Rasulullah saw. juga mengajari kita keromantisan dengan uswah, teladan. Hal ini banyak diceritakan oleh istri beliau. Seperti yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah. Suatu ketika Rasulullah berdiam di pintu kamar Sayyidah Aisyah. Beliau menemani Sayyidah Aisyah sambil menutupi tubuhnya dengan selendang agar tidak terlihat orang yang bukan mahram. Sedangkan Sayyidah Aisyah menikmati aksi pertunjukan dari orang Habsyah yang ada dalam Masjid[2].
Dalam riwayat lain, pada suatu hari ‘Id, datanglah orang-orang Sudan. Mereka beratraksi di depan Rasulullah saw.. Maka Rasulullah memanggil Sayyidah Aisyah. Sayyidah Aisyah pun datang dan melihat orang-orang Sudan itu dari atas bahu nabi. Sayyidah Aisyah terus melihatnya sampai Aisyah berpaling sendiri[3]. Konon, Rasulullah juga kadang berlomba lari-lari dengan Sayyidah Aisyah. Awalnya, Sayyidah Aisyah menang. Setelah gemuk, Sayyidah Aisyah kalah[4].
Dari kisah di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa sakali-kali kita butuh berduaan dengan istri. Bercengkrama memadu kasih. Jalan-jalan berdua ke tempat istimewa. Tentu, dengan niat agar cinta antara keduanya semakin dalam, sehingga satu sama lain bisa terjaga dari cinta yang tidak diingingkan. Dengan kata lain, suami-istri bisa iffah. Bisa terhindar dari terjerumus dalam dosa. Sebab, itulah yang menjadi tujuan utama dari sebuah pernikahan. Namun demikian, saat jalan bersama harus tetap menjaga norma-norma agama. Jangan sampai karena alasan keromantisan melanggar ajaran Islam.
Selain itu, suami istri juga harus menciptakan keromantisan dalam ibadah. Maksudnya? Sambil beribadah sambil memadu kasih. Hal ini pernah di-dawuhkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud. Rasulullah bersabda,
رَحِمَ اللهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ اِمْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فَيْ وَجْهِهَا اَلْمَاءَ رَحِمَ اللهُ اِمْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَي نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ اَلمْاَءَ
“Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun malam lalu salat. Dan, dia membangunkan istrinya. Jika istri tidak mau, dia memercikkan air kepada wajah istri. Allah juga menyayangi wanita yang bangun malam lalu salat. Dan, membangunkan suaminya. Jika suami tidak mau, dia memercikkan air ke wajah suami.” (HR. Abu Daud)
Menurut Syaikh Waliyuddin at-Tibrizi dalam kitanya, Misykah al-Masabih, Rasulullah mengatakan ‘memercikkan air untuk membangunkan pasangan’ itu sebagai bentuk sikap talattuf (lembut). Suami bersikap lembut saat mengajak sang istri bermunajat pada Allah. Istri bersikap lembut saat mengajak suami bersimpuh di hadapan Allah. Tentu, hal ini merupakan romantis abadi. Sebab, indahnya keromantisan ini tidak hanya dirasakan di dunia, tapi juga akan berlanjut sampai di akhirat.
Jadi, Pandanglah mata istri dalam-dalam. Balas pandangan suami sambil menyungging senyuman. Peganglah tangan istri dengan syahdu. Eratkan pegangan suami dengan rindu yang memburu. Pula, saling membantu dalam kebaikan dan memenuhi kewajiban. Misalnya, suami belum salat, istri mengingatkan. Istri belum salat, suami yang mengingatkan. Jika demikian, Allah akan mencurahkan kasih sayang. Begitulah, indahnya keromantisan.
[1] Hadis di atas, disebutkan dalam kitab Jami’ al-Ahadits oleh Imam Syuthi. Juga dalam kitab Kanzu al-Ummal Fi Sunan al-Aqwal Wa al-Af’al oleh Ala’uddin Ali bin Hisamuddin
[2] Shohih Bukhari, 1/464
[3] Sunan al-Kubro Li an-Nasa’I 1/553
[4] Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!