Sesaat,
aku melihat orang tua berteduh di emperan sebuah rumah di pinggir jalan. Duduk
di tanah. Termenung sendiri. Aku melihat sekejap sebelum benar-benar berhenti.
Jelas sekali rambutnya tak pernah disisir. Akupun berhenti. Memarkir sepeda di
pinggir jalan. Lalu, aku dan kedua sahabatku mendatangi kakek tua itu.
Kami
menyapanya. Kakek tua itu menerima kami dengan suka cita. Aku pandangi kekek
itu dengan seksama. Memakai baju rangkap tiga. Yang paling luar, baju hem panjang.
Sudah kusam dan tampak kotor. Memakai celana panjang. Di sampingnya terdapat
tas yang juga kusam.
Dari
obrolan kami, aku tahu, kakek tua itu ingin pergi ke pasar. Menengok anaknya.
Katanya, si anak membuka toko pracangan di sana. Hanya saja, ketika turun dari
angkot, dia harus berteduh karena hujan terus mengguyur jalan. Dari
penuturannya, kalau tidak salah, kakek ini sudah berumur 67 tahun. Alhamdulillah
dia masih bisa berjalan.
Subakri.
Itulah nama kakek tua itu. Dia tinggal dengan keponakannya. Istrinya sudah lama
meninggal. Anaknya sudah berkeluarga dan hidup sendiri. Sesekali, Pak Subakri
ini menyambangi anaknya untuk melepas rindu.
“Pak,
kenapa tidak minta jemput kepada anak jenengan?” Tanyaku.
“Nak,
aku tidak mau mengharap bantuan anakku. Aku sudah bilang pada dia, tidak usah
memikirkan aku. Dia sudah punya keluarga sendiri.” Kurang lebih begitulah
jawaban kakek tua itu.
Aku
tertegun sesaat. Rasa iba merasuki hatiku. Aku palingkan wajahku ke luar.
Melihat rintik-rintik hujan. Melihat kendaraan yang berseleweran. Tuhan, sebesar
inikah pengorbanan orang tua kepada anaknya?
Aksi
Pertama, Surabaya, Sabtu, 05, 03, 2016
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!