Ya,
Bu Marfu’ah. Nenek yang tidak normal berjalan. Kaki kanannya terkena penyakit
(maaf saya lupa nama penyakitnya). Penyakit itu belum dia periksa ke dokter.
Dia tidak punya uang. Mau memakai BPJS, dia tidak membayar uang bulanan selama
satu tahun. Untuk sementara ini, dia tidak bisa berobat. Hanya bisa menahan
sakit yang kadang sampai membuatnya tidak bisa berjalan.
Aku
masih menanyainya. Sesekali, aku melihat sekeliling. Mobil terparkir
berjejeran, kendaraan-kendaraan di depan sana berseleweran. Sesekali, nenek ini
berdiri dari duduknya. Mengatur mobil yang masuk ke lokasi dan ingin parkir.
Begitulah, aktivitas sehari-hari nenek yang bernama Marfu’ah ini.
Dulunya,
saat masih sehat, nenek ini bekerja sebagai pengangkut sampah. Di waktu
senggang yang lain, dia menerima cucian. Maklumlah, dia hanya seorang janda
sebatang kara. Suaminya meninggal saat anak pertamanya masih kecil. Padahal,
dia memiliki tujuh anak. Sedangkan saudara-saudaranya, sudah tidak peduli lagi
padanya. Bahkan, kalau dia mencoba silaturrahmi ke Banyuangi, tempat
kelahirannya, saudara-saudaranya menutupinya pintu. Mereka menganggap, dia akan
meminta harta warisan. Dia hanya bisa sabar. Untuk itu, dia memantapkan diri
untuk tinggal di Surabaya saja.
“Bu
saya ……. Saya di Surabaya Kuliah.” Entahlah, kenapa aku bilang seperti ini.
Mungkin, untuk mencairkan suasan. Tapi, perkataanku ini membuat nenek ini
sedih. Salah satu putranya, ingin kuliah, tapi tidak bisa. Dia tidak punya
biaya.
“Anakku
juga pengen kuliah, tapi ya gimana lagi. Dia langsung kerja.” Tuturnya.
Aku tertegun.
Hatiku bersyukur berkali-kali. Begitu banyak nikmat yang Allah berikan
kepadaku. Nikmat sehat, bisa kuliah, dan lain-lainnya. Aku tidak mungkin mampu
menghitungnya.
Sejurus
kemudian, saya menanyakan perihal anak-anaknya. Katanya, anak-anaknya sudah bekerja
semua. Walaupun bukan pekerjaan keren. Alhmadulillah. Bahkan, di antara mereka
ada yang bekerja di tempat yang jauh. Sehingga, jarang pulang. Katika saya
menanyainya apakah mereka membantu keekonomiannya, dia bilang tidak. Mereka sudah
hidup sendiri-sendiri.
“Ibu
kalau kangen ke anak-anak gimana buk?” Tanyaku.
“Nelpon….”
Kata nenek tua itu sambil meletakkan tangannya di telinga. Air matanya meleleh.
Dia berusaha menghapusnya.
“Begitulah,
aku tidak kuat kalau menelpon anakku.” Katanya.
Semuga
kita sukses dan bisa membahagiakan kedua orang tua kita sampai akhir hayatnya. Amin.
Aksi
Pertama, Surabaya, Sabtu, 05, 03, 2016
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!