وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ [آل عمران: 97
“…….. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al-Imron: 97)
Ulama fikih menjadikan ayat di atas sebagai landasan diwajibkannya haji. Namun, mereka berbeda pendapat kapan ibadah haji diwajibkan. Sebagian mengatakan, ibadah haji diwajibkan sebelum hijrahnya nabi ke Madinah. Sebagian yang lain mengatakan setelah hijrah. Akan tetapi, yang masyhur adalah pendapat yang mengatakan setelah hijrah.
Kalau ditilik dari historis, orang pertama kali yang melakukan ibadah haji adalah Nabi Adam. Konon, beliau melakukannya dimulai dari India. Perjalanan beliau ke baitullah menghabiskan waktu empat puluh tahun. Ketika Nabi Adam menunaikan ibadah haji, Malaikat Jibril berkata, “Sesungguhnya, para malaikat melakukan tawaf sebelum engkau sebanyak tujuh ribu tahun.”
Dari cerita di atas, dapat disimpulkan ibadah haji meruapkan ibadah yang mulia. Ibadah yang memiliki nilai historis para nabi terdahulu. Keutamaannya pun begitu agung. Bagaimana tidak, orang yang melakukan ibadah haji bak bayi baru lahir. Tanpa dosa. Sebagaiaman sabda Rasulullah saw., “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji, lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia kembali ke negerinya seperti ketika dia dilahirkan ibunya.” (Muttafaq Alaih). Di hadis yang lain beliau juga bersabda, “Haji yang mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (Muttafaq Alaih)
Pertanyaan selanjutnya, apakah yang dimaksud haji mabrur itu?
Mengenai haji mabrur, ulama begitu beragam mendifinisikannya. Ibnu Abdil Bar berkata, mengutip pendapat Qil, bahwa haji mabrur adalah haji yang dilakukan bukan karena riyak, popularitas, juga haji yang tidak terdapat kata keji dan perbuatan fasik, serta menggunakan harta yang halal. Pendapat yang lain mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak dicampuri dosa sedikitpun. Pendapat yang kedua ini di-tarjih oleh Imam Nawawi. Dari pemaparan ulama di atas, Imam al-Qurtubi menarik benang merah bahwa difinisi haji mabrur adalah ibadah haji yang dilakukan sesuai dengan hukum-hukumnya serta dilakukan dengan sangat sempurna.
Namun demikian, ada tanda-tanda husus untuk mengetahui haji itu mabrur atau tidak. Diantara tanda-tanda itu bertambah baiknya perbuatan sepulang haji serta tidak mengulangi maksiat lagi. Hal ini disebabkan ritual ibadah haji merupakan penempaan diri untuk menjadi lebih baik. Kalau dipikir dengan akal jernih, dalam ritual-ritual ibadah haji terdapat pelajaran-pelajaran hidup untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah swt.. Wukuf di Arafah misalnya. Pelajaran yang dapat diambil dari ritual ini tidak ada manusia yang lebih istimewa. Derjata mereka sama. Hanya takwa yang membedakan. Hal itu bisa dilihat dari cara berpakaian. Orang-orang yang wukuf di Arafah memakai baju putih tanpa jahit. Tidak ada yang menggunakan baju mewah. Tidak ada yang memakai baju jelek. Semuanya sama. Hanya ketakwaanlah yang membedakan. Oleh karena itu, orang yang sudah melakukan haji tapi amalnya sama seperti sebelum haji atau bahkan lebih jelek, bisa dipahami orang itu kurang merasapi ritual-ritual haji. Dia melakukan kewajiban-kewajiban haji tanpa renungan. Tanpa kekhusyukan. Jika demikian, hanya kerugian yang dia dapatkan.
Dengan demikian, diharapkan, setelah menunaikan ibadah haji lahirlah orang-orang baru. Orang-orang yang amalnya lebih baik dari sebelumnya. Orang-orang yang melahirkan kebaikan-kebaikan, baik untuk dirinya atau orang lain. Sebab, yang dimaksud ‘tambah baik’ bukan hanya secara individual, tapi juga secara sosial. Dengan kata lain, indikator haji mabrur bisa dilihat dari kesalehan individual dan sosial. Contoh, sebelum menunaikan ibadah haji tidak istikamah berjemaah, tapi setelah menunaikan ibadah haji, jemaahnya luar biasa. Pertanda hajinya mabrur. Atau, sebelum menunaikan ibadah haji jarang sedekah dan silaturrahmi, tapi setelah menunaikan ibadah haji, begitu gampang bersedekah dan silaturrahmi. Pertanda hajinya mabrur. Hal itu memang sudah diajarkan oleh baginda nabi sejak ribuan tahun yang lalu. Beliau bersabda ketika ditanya tentang haji mabrur. “Memberi makan dan menebarkan salam.”(HR. Imam Ahmad dan al-Hakim). Bahkan ada ulama yang menyifati haji mabrur dengan demikian; tidak menyakiti, menanggung rasa sakit, baik dalam bersahabat, dan memberi bekal.
Wallahu A’lam bis-Showab
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!