“Jangan takut dikomentari” kata inilah yang terlintas di
benakku. Entahlah. Waktu itu, aku diminta untuk menjadi MC (Master of Ceremony)
pada acara Hari Jadi PP. Nurul Hikmah dan Ikhtibar Madrasah Miftahul Ulum
Murangsanah, tempat aku belajar dulu. Akupun berinisiatif untuk menyetingnya
sebaik mungkin agar acaranya meriah. Maka, aku mengajak salah satu temanku
untuk menemaniku di atas panggung. Tentu, dua MC berdiri di atas pentas
meruapakan pemandangan baru di desaku. Apa lagi kadang diisi perbincangan seakan
MC di TV.
Setelah selesai, aku bertemu dengan salah satu temanku.
Awalnya dia bilang bagus. Entah dari hati atau hanya pemanis bibir saja.
Setelah itu, dia bilang kalau masyarakat desaku tidak mungkin suka dengan gaya
MC seperti tadi. “Kalau masyarakat sini tidak mungkin suka. Mereka orang
awam dan sudah tua. Mungkin mereka bilang ‘apa-apaan ini’?” kurang lebih begitu
kata temanku. Langsung saja aku down dan tak percaya diri. Aku takut. Hatiku
ciut.
Ketika aku pulang, di tengah jalan, aku bertemu dengan
temanku yang lain. Temanku ini masih aktif sekolah di Madrasah MMU 20.
Iseng-iseng aku coba mengorek penilaiannya tentang gayaku menjadi MC. Ternyata,
dia bilang bagus. Sangat bagus dan seru. Aku bahagia. Ada dua komentar untuk
hal baru yang aku lakukan: suka dan tidak.
Besok malamnya, aku diminta untuk membacakan puisi
sebelum pembagian hadiah bagi santri yang juara umum. Di desaku disebut Bintang
Belajar. Akupun setuju. Aku karang puisi semampuku. Puisi yang ku karang tentang
‘ibu’ dengan judul “Aku Elang Kecil Mu”. Setelah selesai, tidak jauh beda
dengan kemaren, waktu aku menjadi MC. Ada sahabat yang berkomtar sinis, “Kurang
menyentuh”. Aku hanya tersenyum kecut. Aku menyadari aku memang baru pertama
kali membaca puisi di halayak ramai. Kemudian aku pulang. Namun, aku tidak
pulang ke rumahku. Aku pulang ke rumah mbah. Di sana aku bertemu dengan
adik-adik sepupuku. Mereka mengadu padaku bahwa puisi yang aku baca sangat
menyentuh. Air mata mengintip di celah mata. Bahkan menetes membasahi pipi. Aku
hanya tersenyum suka. Besoknya, aku bertemu dengan bibiku. Dia juga
mengomentari puisiku. Katanya, air matanya menetes karena teringat saat kecil
dulu. Saat dengan sabar ibu tercinta merawatnya. Beberapa hari kemudian, aku
juga bertemu dengan salah satu alumin MMU 20. Dia sudah lama boyong. Dia
juga menilai puisiku dangan positif. Dia bilang, puisiku membuatnya terharu.
Puisiku merasuk dalam hatinya. Membangkitkan rasa kasih kepada sang ibu dan
mengingatkan cerita-cerita lama bersama sang ibu.
Begitulah, apa saja yang kita lakukan pasti ada yang
suka dan ada yang tidak. Kemudian, kita akan mendapat komentar sesuai isi hati
pengomentar. Kalau suka, positif. Kalau tidak suka, negative. Namun sebenarnya,
komentar positif-negative tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah
bagaimana kita menyikapinya. Kalau positif, syukur al-Hamdulillah. Kita
tinggal meningkatkan kualitasnya. Kalau negative, malah itu yang baik. Kita
bisa tahu kekurangan kita. Sebab sejatinya, keritik itu lebih kita butuhkan
dari pada pujian. Pujian adalah racun yang mematikan.
Maka, Jadilah orang berani membuat inovasi dan
pembahruan. Tentu, inovasi yang lebih baik. Kalau ada yang mengomentari,
hadapilah dengan bijaksana. Orang bijak berkata,“Disukai semua orang sangat
sulit. Maka, kerjakanlah yang benar. Setelah itu, biar mereka yang menilai.”
Semuga bermenfaat…..!!!
Jumat, 13, Rmadan, 1435
H.
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda....!