Biografi Abdullah bin Alawi al-Haddad


Bab I
Isarat Seorang Wali

Biografi Abdullah al-Haddad         Malam Senin, 5 Safar 1044 H. pasangan Syarifah Salma dan Sayid Alwi bin Muhammad al-Haddad dikarunia buah hati yang kelak menjadi pemimpin umat. Bocah mungil itu adalah Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad (selanjutnya ditulis al-Haddad). Al-Haddad lahir dari pasangan mulia. Sang ayah, Sayid Alwi al-Haddad, berpribadi soleh, takwa, dan waliul-Lâh. Sementara ibundanya adalah Syarifah keturunan Sayid Ahmad al-Habsyi. Al-Haddad lahir di Tarim, Yaman.




              Ia bermarga Alawiyah (salah satu marga dari keturunan nabi) dan dibesarkan di kalangan para ulama besar Tarim. Kemulian yang diperolehnya telah tampak semenjak lahir. Pada dirinya tampak tanda-tanda keberuntungan baik berupa warisan mental ataupun spiritual yang kelak akan menjadi tokoh para Alawiyin.

Isyarat Kewalian
         Ketika al-Haddad lahir, wajah kedua orang tuanya tampak berseri-seri akan kehadirannya. Mereka yakin bahwa anaknya akan tumbuh sebagai pribadi soleh serta tampil sebagai referensi umat Islam. Ini bisa dirasakan oleh ayahandanya, Sayid Alwi bin Muhammad al-Haddad ketika mendapat isyarat dari Sayid Ahmad al-Habsyi.
              Dikisahkan, sebelum Sayid Alwi bin Muhammad al-Haddad menikah, beliau berkunjung kepada al-‘Ârif bil-Lâh Sayid Ahmad bin Muhammad al-Habsyi untuk meminta berkah dan doa. Lalu, Sayid Ahmad al-Habsyi berkata, “Anak-anakmu adalah anak-anak kami. Berkah terdapat pada mereka” Setelah itu, Sayid Alwi menikah dengan salah satu cucu Sayid Ahmad al-Habsyi dari jalur putra laki-lakinya, Syarifah Salma.
              Setelah keduanya menjalani bulan madu sebagai seorang suami-istri, keduanya dikarunai buah hati yang ditunggu-tunggu. Di antaranya adalah Al-Imam as-Sayid Abdullah al-Haddad. Sayid Alwi (ayah imam Abdullah al-Haddad) berkata, “Aku tidak tahu isyarat yang dimaksudkan Sayid Ahmad al-Habsyi, kecuali setelah anakku, Abdullah lahir. Kulihat padanya terdapat tanda-tanda kewalian dan kemulian,” tuturnya.
             
Bocah Pantang Menyerah
Ketika menginjak usia 4 tahun, Al-Haddad terserang penyakit cacar yang mengakibatkan indra penglihatnanya kabur. Beliau tidak bisa melihat. Masa-masa kecilnya diwarnai dengan berbagai cobaan dan ujian. Tapi, semangat hidupnya tak pernah luntur. Meskit mendapat cobaan yang silih berganti, al-Haddad tetap bersemangat menghafal al-Qur’an. Setiap hari beliau menghafal dan membaca al-Qur’an sehingga bisa tamat dan hafal secara sempurna. Setelah sukses menghafal al-Qur’an, bersama temannya al-Haddad mendatangani beberapa masjid di Tarim. Di setiap masjid yang disinggahi keduanya menunaikan salat sunah sebanyak seratus atau dua ratus raka’at.
Mujahadah al-Haddad dalam mengarungi kehidupan tiada lain sebagai ekspresi syukur atas segala nikmat Allah I dan mengharap rida Sang Khaliq I di Akhirat. Al-Haddad menghadapi segalanya dengan kanaah serta sabar dan menerima dengan hati ikhlas.  Hal itu, membuat keluarga dan kerabat yang menyaksikannnya menaruh perhatian kepada al-Haddad, khususnya sang ayah dan ibu. Meski tumbuh dalam keadaan cacat permanen (buta), al-Haddad tetap melaksanakan aktivitas layaknya anak-anak lain.
Mendekati usia remaja, al-Haddad sangat simpati kepada anak kecil. Suatu hari, ketika usianya genap 12 tahun, al-Haddad mengikuti majlis taklim. Di tengah berlangsungnya pengajian, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara anak kecil. Al-Haddad bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, “Siapa anak itu?” ketika diberitahu bahwa ayah anak itu hadir di majlis, al-Haddad menegurnya, “Mengapa anak itu anda biarkan duduk di sana? Mengapa tidak anda biarkan pergi bermain dengan anak-anak yang lain?” Ayah anak itu menjawab, “Saya ingin dia mendapat kesempatan menghadiri majlis ini. ”Al-Haddad berkata, “Anda yang harus memanfaatkan kesempatan mengaji. Biarkan dia bermain sekarang. Jika tidak, dia akan minta bermain pada waktu selain waktu bermain!”, pungkasnya.


Bab II
Menuntut Ilmu dengan Penuh Ujian

         Saat berusia 15 tahunal-Haddad menimba ilmu kepada sang ayah dan ulama Yaman. Setelah hafal al-Qur’an dengan sempurna, beliau belajar fikih sebagaimana harapan ayahnya. Di sela-sela kesibukannya mendalami ilmu fikih, al-Haddad juga mengalokasikanwaktunya untuk menghadiri majlis taklim Sahal al-Kabsi. Setelah mendengar penjelasan-penjelasan Sahal al-Kabsi yang sering mencela fikih dan ahli fikih, al-Haddad berhenti belajar fikih.
              Kemudian al-Haddad mengadu kepada ayahnya perihal keputusannya untuk tidak belajar fikih. Lantas Sang ayah menasehatinya, “Semua orang membutuhkan fikih, tidak ada alasan untuk tidak belajar fiqih.” Mendengar nasehat sang ayah, semangat al-Haddad bersemi kembali untuk mempelajari literatur ilmu fikih. Akhirnya, al-Haddad belajar fikih kepada sang ayah dan pakar fikih lainnya, yaitu Al-Faqih Bajubair.
              Syaikh Al-Faqih Bajubair meminta kepada al-Haddad supaya menghafal kitab al-Bidâyah. Al-Haddad pun menghafalkan kitab al-Bidâyah sampai bab Muharramâtul-Ihrâm. Tetapi, sebelum sempurna menghafal kitab al-Bidayah, sang guru harus hijrah ke India, karena menyertai Sayid Abu Bakar Balfaqih.
Sahabat yang Setia
         Semangat untuk mencari ilmu tidak hanya sampai di situ, tetapi lebih jauh al-Haddad dengan sahabat setianya, Imam Abdullah bin Ahmad Balfaqih pergi menuju pada sebuah lembah yang terdapat di Tarim guna mengulangi hafalan al-Qur’an. Di lembaga itu, al-Haddad membaca satu juz, kemudian diulangi oleh sahabatnya, Abdullah Balfaqih. Selanjutnya, kedua sahabat ini belajar ilmu fikih.
              Ketika waktu Zuhur tiba, keduanya bergegas berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat berjamaah, dilanjutkan salat sunah sebanyak seratus atau dua ratus rakaat. Kemudian, keduanya berpencar untuk berziarah. Al-Haddad berziarah ke makam Syaikh Abdullah bin Abu Bakar al-Idrus, sedangkan Abdullah Balfaqih berziarah ke makam Sayid Abdullah bin Muhammad.
              Dalam mengenang masa kecilnya, Sayid Abdullah Balfaqih bercerita, “Kami berdua tumbuh dan dibesarkan bersama, tetapi Imam Abdullah al-Haddad melebihiku”. Ia juga pernah berkata, “Sejak kecil Imam Abdullah al-Haddad sudah terbuka hati dan pikirannya. Apabila ia membaca surat Yasin, jiwanya sangat tersentuh, bahkan hingga menangis bersedu-sedu sehingga tidak kuasa meneruskan bacaanya.”

Cahaya Berkah ‘Uzlah
              Ketika usianya menginjak 17 tahun, kehidupan al-Haddad mulai merambah pada dunia sufistik. Sifat ke kanak-kanakan hilang berganti pribadi dewasa nan dermawan. Jika dulu al-Haddad sering bermain dengan sahabat-sahabat sebayanya, maka sekarang al-Haddad lebih senang menyendiri dan menghindar dari halayak ramai.
              Saat itu, beliau tinggal seorang diri di sudut masjid Hujairah. Setiap kali selesai menunaikan salat berjamaah di masjid jamik, al-Haddad langsung kembali ke masjid Hujairah, lalu mengunci pintu dan ‘uzlah di sana. 
              Tak lama tinggal di masjid Hujairah, keberadaannya tercium oleh masyarakat. Lantas mereka berduyun-duyun mendatanginya guna menimba ilmu. Akhirnya, al-Haddad resmi menyalurkan ilmu pengetahuannya kepada mereka. Sutau ketika beliau berkata, “Ketika itu, kami sebenarnya tidak berniat mengajar kecuali kepada keluarga Bâ Fadhal.” Animo masyarakat untuk belajar kepada al-Haddad sangat tinggi sehingga masjid Hujairah penuh dan tidak mungkin menampung hadirin.
              al-Haddad merupakan pribadi yang cinta kepada ilmu dan ulama, gemar berbicara tentang para ahli makrifat, selalu mujahadah dan menjauh dari keramaiyan. Tak pelak, jika al-Haddad tampil sebagai pribadi mulia dan sosok nomor satu di masanya.
              Di ceritaka, saat al-Faqih Bajubair (guru fikih al-Haddad) datang dari India bersama Sayid Abu Bakar Balfaqih, maka Al-Faqih Bajubair tidak segan dan malu belajar kepada mantan muridnya, al-Haddad. Al-Faqih Bajuabir memohon kepada al-Haddad supaya diajari tentang Hizbul-Bar dan Ihyâ’ Ulumud-Dîn karya al-Ghazali.

Hari Duka Cita
         Pada tanggal 1 Rajab 1072 H. ayah yang senantiasa menemani setiap langkah perjuangannya berpulang ke Rahmatul-lâh. Saat itu, usia al-Haddad genap 28 tahun. Lima hari kemudian, ibunda al-Haddad terserang sakit keras. Setelah menderita sakit selama 20 hari, beliau juga berangkat ke alam baka dalam keadaan melaksanakan salat Dhuha menyusul sang suami.
              Meski musibah silih berganti menghampirinya, al-Haddad tidak putus asa. Al-Haddad menghadapinya dengan sabar dan ikhlas. Saat itu, dia mengirim surat kepada saudaranya, Sayid Hamid bin Alwi bin Muhammad al-Haddad di India, mengabarkan kepergian orang tuanya. Beliau menghibur saudaranya supaya sabar, ikhlas dan rida dengan apa yang ditakdirkan oleh Allah I. Pada tahun itu, selain ayah dan ibunda al-Haddad, juga banyak ulama yang wafat, seperti Sayid Umar bin Abdurrahman al-Aththâs, penguasa Huraidah, Sayid al-Umdah Baqiyatul-Fudhâlâ, dan Abdullah bin Syaikh al-Aidrus.

Bab III
Salamnya Dijawab Rasulullah e
        
              Pada tahun 1079 H. al-Haddad menunaikan rukun Islam kelima. Beliau berangkat bersama rombongan meninggalkan kota Tarim. Hujan lebat mengiringi rombongan jamaah haji menuju pelabuhan asy-Syahr.
              Di tengah perjalanan itu, beberapa penduduk Hadramaut mengadu kepada al-Haddad tentang perlakuan zalim sang penguasa. Kemudian al-Haddad berkata, “Sebelum kami pulang dari Mekah, panguasa itu tentu sudah meninggal.”                                                                               
              Setibanya di pelabuhan, al-Haddad menyuruh kepada rombongan supaya menunaikan salat Gha’ib. Perintah itu membuat jamaah bingung. Siapa gerangan yang meninggal? Pada akhirnya, kebingungan itu terjawab ketika mereka pulang ke Tarim. Ternyata, penguasa zalim itu yang meninggal dunia.
              Dalam perjalanannya menuju Mekah, al-Haddad mengirim surat kepada putranya, Badruddin Sayid Husain bin Abdullah al-Haddad. Di antara isi suratnya, “Wahai anakkuJanganlah engkau isyrâf dalam berpakaian dan makanan, karna hal itu merupakan perbuatan setan dan manusia bodoh. Jika kamu mengajari seorang suatu ilmu, jangan tergesa-gesa. Ambillah manfaat darinya lebih banyak dari dia mengambil manfaat darimuUlangilah! Karna dalam mengulangi itu, terdapat ilmu tambahan. Takutlah! Takutlah kamu dari bayangan wanita di hati, memikirkannya apa lagi sampai membicarakannya. Maka sibukkanlah dirimu dengan membaca al-Qur’an, berdzikir dan belajar ilmu yang bermanfaat.”

Disambut Dengan Kegembiraan
         Setibanya di Jeddah, al-Haddad beserta rombongan mendapat kiriman surat dari penduduk Mekah. Mereka berharap supaya beliau bersama rombongan berkenan singgah di rumah mereka. Beliau disambut hangat oleh para pengusa, jamaah, dan masyarakat. Ketika malam tiba, sebagian rombongan meminta izin untuk berangkat dahulu guna mencari tempat bermalam, tapi al-Haddad melarangnya. Ternyata, sesaat kemudian banyak penduduk yang datang menjemputnya supaya al-Haddad bermalam di rumahnya.
             
Menginjak Serambi Mekah
         Pada tanggal 1 Dzhulhijjah 1079 H. ketika matahari baru menampakkan dirinya, al-Haddad bersama rombongan berangkat menuju Mekah. Sesampainya di sana, beliau beserta rombongan melaksanakan Ihrâm.
              Pada hari tarwiyah al-Haddad dan rombongan bertolak ke Mina. Keesokan harinya, beliau dan rombongan melaksanakan Wuquf di Arofah, kemudian kembali ke Mekah lagi. Di Mekah, beliau membuat halaqah yang diikuti oleh sejumlah penduduk Mekah. Setelah itu, al-Haddad menuju Baitullah untuk bermunajt kepada Sang khaliq.
              Selanjutnya, al-Haddad melaksanakan Sa’i. Sebelum meninggalkan Mekah. Beliau berziarah ke makan neneknya yang tertinggi, yaitu Sayidah Khadijah Ummul Mukminin R.A dan makam para wali, seperti al-‘Ârif bil-lâl Sayid Abdullah bin Muhammad di perkuburan asy-Syabikah.   

Menuju Makam Rasulullah e
         Setelah beberapa hari di Mekah, beliau beserta rombongan menuju Madinah guna berziarah ke makam Rasulullah e. Sesampai di Madinah, al-Haddad mendapat sambutan hangat dari penduduk Madinah. Di Madinah, al-Haddad menyempatkan diri mampir ke masjid Nabawi dan melaksankan salat di Raudhah Al-Muthahharah.
              Kemudian, al-Haddad menuju makam datuknya, Rasulullah e. Dikisahkan, saat al-Haddad mengucapkan salam ke makam Rasulullah e. Rombongan yang menyertainnya mendengar jawaban salam dari al-Musthafâ Muhammad e.

Kembali Ke Mekah
              Setelah empat puluh hari berada di Madinah, beliau kembali ke Mekah. Sebenarnya, al-Haddad merasa berat untuk meningglakan Madinah. Sebelum meninggalkan Madinah beliau bermimpi. Dalam mimpinya, al-Haddad mendengar suara supaya beliau tidak meninggalkan Madinah. Kemudian al-Haddad berkata, “Ketika saya hendak meninggalkan Madinah, saya melihat seorang wanita menuju pasar hendak menjabat tanganku. Saya pun memasukkan tanganku ke lengan baju. Lalu aku bertanya kepadanya, “Siapa anda?” Ia menjawab, “Aku Rahmah. Datukmu, Rasulullah e menyampaikan salam kepadamu supaya tidak meninggalkan Madinah sekarang."
              Tapi, al-Haddad tetap memutuskan untuk kembali ke Mekah karena hendak pulang ke kampung halamnanya, Tarim Hadramaut Yaman. Al-Haddad berada di Mekah hingga bulan Rabiul Awal. Selanjutnya, beliau pulang ke kampung halaman dengan perasaan gembira karena bisa bertamu ke rumah Allah I serta berziarah ke makam Rasulullah e.

Bab IV
Ijtihad dalam Beribadah

              Sepulang dari ibadah haji, al-Haddad melanjutkan dakwahnya di Tarim. Beliau kembali mengajar di masjid Hujairah setelah sempat ditinggalkan selama menunaikan ibadah haji. Majlis taklimnya selalu dibanjiri oleh lautan manusia dari segala penjuru kota. Mereka berduyun-duyun mendatangi majlis taklim al-Haddad dengan motivasi yang berbeda. Ada yang murni menuntut ilmu dan ada pula yang menjadikannya sebagai pembimbing dalam proses sulûk menuju ilahi Rabbi.
              Al-Haddad secara kontinu mengajar di masjid Hujairah hingga rumahnya yang terletak di daerah Hawi, sebelah Tarim rampung dibangun. Di samping rumahnya, beliau juga mendirikan masjid sebagai fasilitas belajar-mengajar dan dakwah. Setelah rampung, al-Haddad pindah ke sana dan mengajar di masjid dekat rumahnya setiap selesai Asar. Sedangkan pada hari Kamis dan Senin pagi, al-Haddad mengajar di rumahnya. Beliau menjalani rutinitasnya hingga ajal menjemput. Konon, beliau tinggal di Hawi selama 48 tahun. Selama itu, Hawi menjadi tempat berteduh bagi orang-orang soleh.


Selalu Berjamaah Dan Puasa Sunah
              Al-Haddad adalah seorang Sayid yang gemar mengikuti jejak langkah Rasulullah e. Beliau senantiasa melaksanakan salat lima waktu di awal waktu, berjamaah, dan khusyuk. Beliau tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan salat. Konon, jika waktu salat telah tiba, sementara orang-orang  menunngu jamaah, maka al-Haddad melarang keras berbincang-bincang. “Kami keluar untuk menunaikan ibadah salat dengan menghadapkan diri kepada Allah I dan memusatkan perhatian kepada Allah I,” terang al-Haddad kepada mereka.
              Di samping itu, al-Haddad juga istikamah mengerjakan salat sunah qabliyahba'diyah dan salat sunat lainnya, seperti Witir, Dhuha, dan Tahajjud. Al-Haddad juga memiliki banyak aurâd, baik yang dibaca setelah salat fardhu atau lainnya. Setiap waktu, a-Haddad tidak pernah alpa dari zikir kepada Allah I.
              Selain itu, Al-Haddad juga gemar berpuasa, terutama pada hari-hari mulia, seperti Senin-Kamis, hari Baydh (hari putih; setiap tanggal 13,14,15), 'Asyura’'Arafah, dan enam hari di bulan Syawal. Rutinitas puasa ini beliau lakukan secara kontinu sampai beliau tidak mampu melakukannya sebab lanjut usia.


Qiyâmul-Lail
              Termasuk kebiasaan al-Haddad adalah tekun beribadah kepada Sang Khalik. Seluruh waktunya didedikasikan untuk berzikir mendekatkan diri kepada Allah I. “Beliau banyak berzikir, khususnya Lâ ilâha illal-Lâh. Senandainya dikalkulasi pasti jumlahnya mencapai ribuan setiap harinya. Bahkan tak jarang, al-Haddad menyelipkan zikir di tengah pembicaraan. Sungguh cepat beliau berzikir sehingga saat bercakap-cakap, sambil mendengar komentar orang lain sepatah dua patah kata saja, beliau sudah berdzikir sepululuh kali.” Ujar Sayid Ahmad bin Zain.
              Bukan hanya itu, tapi ketika malam tiba, al-Haddad juga mengisinya dengaberibadah. Setiap hendak melakukan qiyâmul-lail, beliau mengusap wajahnya lalu membaca doa bangun tidur, kemudian diteruskan dengan membaaca ayat Inna fî Khalqis-Samâwâti wal-ardli sampai akhir surat. Selanjutnya, beliau membuat kopi. Sebelum menyeruput kopi, al-Haddad membaca Fatihah beberapa kali. Fatihah itu ditujukan untuk kemaslahatan umat Islam, orang-orang yang telah meninggal dunia lebih-lebih ulama salaf dan permintaan baik yang bersifat khusus atau umum. Kemudian membaca ayat kursi dan Yâ Qawîy (Wahai Zat Yang Maha Kuat) 161 x. Lalu menyeruput kopinya.
              Seusai menikmati kopinya, beliau mengmbil airu wudu dengan sempurna. Lantas, berdoa kepada Allah I, lalu meakukan salat sunah dua rakaat. Selanjutnya, al-Haddad meneruskan dengan melaksanakan qiyâmul-lail tiga rakaat. Sayid Ahmad bin Zain al-Habsyi berkata, “Ketika saya menyertainya ziyarah ke makam nabi Nuh u, saya  sering melihatnya melaksanakan salat tiga belas rakaat dengan hudhûr secara sempurna dan khusyuk serta merendahkan diri. Beliau terus bertadharru’ dan penuh harap. Al-Haddad sangat lama berdoa memohon karuni, rahmat dan perlindungan dari siksa neraka.”
              selanjutnya, terkadang al-Haddad tidur sebebtar, lalu mengambil air wudlu kembali guna menunaikan salat witir. Sebab menjadi kebiasaan al-Haddad melakukan salat witir pada akhir malam menjelang terbitnya fajar.
              Hobinya melaksanakan ibadah juga tampak dari nasehat-nasehatnya ketika bulan suci Ramadan tiba. Suatu ketika, al-Haddad berwasiat kepada sahabatnya, “Bulan Ramadan adalah bulan ibadah. Saat Ramadan tiba, kita tidak perlu menyibukkan diri dengan ilmu. Sebab, Ramadan untuk beribadah. Bukankah engkau melihat para guru tidak mengajar pada bulan itu kecuali setelah Ashar? Itu pun untuk mengingatkan sahabat-sahabat yang duduk bersama mereka. Maka rajinlah beribadah dan membersihkan batin.” Ungkapnya.


Bab V
Dakwah dan Tarekat
             
              Dalam berdakwah Imam al-Haddad tidak pilah-pilih. Beliau berdakwah kepada semua lapisan masyarakat. Baik kepada Habaib, Ulama, penguasa dan masyarakat umum. Bahkan raja-raja pun beliau kirimi surat supaya menyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah I berupa kekuasaan. Dalam suratnya, Imam al-Haddad menyerukan supaya raja-raja itu menegakkan hukum Allah dan melenyapkan kemungkaran dari muka bumi.

Metode Dakwah Imam al-Haddad
              Secar garis besar dakwah yang ditekuni Imam al-Haddad menggunakan dua cara; lisan dan perbuatan (haliah). Salah satu dakwah dengan lisannya adalah penggunaan bahasa yang selalu disesuaikan dengan kualitas audien. "Hendaknya anda mengajak orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat, mengajak ahli sayariat kepada tarekat dengan bahasa tarekat, mengajak ahli tarekat kepada hakikat dengan bahasa hakikat, mengajak ahli hakikat kepada al-haq (kebenaran) dengan bahasa al-haq dan mengajak ahli kebenaran kepada al-Haq dengan bahasa al-haq.” Kata Imam al-Haddad menguraikan cara dakwahnya.
              Maksudnya, seseorang yang berdakwah kepada orang awam yang belum mengerti tentaang agama secara baik, metode dakwah yang dipakai adalah mengajak mereka supaya melaksanakan kewajiban dengan sempurna dan meninggalkan larangan Allah I secara total. Selanjutnya, ketika dakwah ini telah berjalan sukses, maka ajaklah mereka menjadi seorang ahli tarekat yang senantiasa ikhlas dan ihsan dalam mengerjakan syariat. Adapun dua cara selanjutnya adalah khusus bagi orang-orang Ahli Ma'rifat bil-Lâh.

Tarekat Ashhâbul Yamîn
              Tarekat yang digeluti Imam al-Haddad merupakan tarekat yang berlandaskan al-Quran, Hadis dan sesuai dengan jejak langkah Salafush-Shâlih. "Tarekat kita secara global tidak butuh untuk dijelaskan, karna ia merupakan jelmaan al-Qur’an, Hadis, dan jejak langkah Salafush-Shâlih. Seandainya ada yang benar-benar ingin mengetahui tarekatku secara perinci, tentu akan aku jelaskan secara khusus dan umum. Di mana yang lebih utama bagi sebagian orang dan yang lebih utama bagi yang lain.” Ucap Imam al-Haddad.
              Dalam menunaikan ibadah, seorang ahli tarekat berbeda-beda. Sebagian ada yang mampu melakukan ibadah secara sempurna, sebagian yang lain hanya bisa melakukan ibadah yang ringan-ringan saja. Menurut Imam al-Haddad tarekat kelompok pertama dikenal dengan sebutan tarekat khusus, yaitu tarekat yang menuntut pengikutnya supaya mengosongkan hal-hal selain Allah I, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dan berhias dengan sifat-sifat terpuji. Amalan untuk menemput tarekat ini sangat berat, yaitu harus tidak tidur malam selama dua puluh tahun lebih, menyepi (khalwat) selama empat puluh hari empat puluh malam. Oleh karna itu, tidak semua orang bisa mengamalkannya, hanya orang tertentu yang sanggup mengamalkan.mereka disebut sebagai muqarrabîn.
              Sedangkan tarekat kelompok yang kedua adalah tarekat umum yang biasa disebut dengan tarekat Ashâbul Yamîn (tarikat penghuni surga). tarekat Ashâbul Yamîn relatif lebih ringan. Awalnya, dalam menjalani tarekat ini, seorang salik dituntun supaya mengosongkan hatinya dari urusan dunia, menggunakannya sekedar kebutuhan, menghabiskan waktu dengan berzikir kepada Allah I dan menjaga diri dari maksiat. Tarekat ini mulai diijazahkan kepada halayak ramai oleh Imam al-Haddad ketika masyarakat dilanda cinta dunia serta berlomba-lomba meraup dunia sebanyak-banyaknya. Mereka sudah tidak mungkin menjalani tarekat khusus seperti para pendahulunya.
Sanad Tarekat
              Imam Al-Haddad merupakan guru besar yang memiliki banyak guru. Tercatat gurunya mencapi seratus empat puluh. “Aku pernah belajar kepada seratus empat puluh orang.” Dawuh Imam al-Haddad suatu waktu.
Sanad tarekat al-Haddad dari satu jalur secara ringkas;
              Habib Abdullah al-Haddad dari Sayid al-'Ârif Umar bin Abdurrahman al-Aththas dan Sayid imam Muhammad bin Alwi, keduanya mendapat ijazah dari Sayid Husain bin Syaikh Abu Bakar  Salim, dari Syaikh Abu Bakar, dari Sayid al-'Ârif  Umar bin Abdullah Bâ Syaiban, dari Syaikh al-Kamil Sayid Abdurrhaman bin Syaikh Ali bin Syaikh Abu Bakar, dari Syaikh Ali Ni'am, dari Syaikh Abu Bakar as-Sakran, dari Syaikh Imam Abdurrahman as-Segaf, dari Syaikh Maula Duwailah, dari Syaikh Ali, dari  Alwi bin Faqih, dari Syaikh Faqih al-Muqaddam, dari Syaikh Ali, dari Syaikh Muhammad, dari Syaikh Ali bin Alwi, dari Syaikh Alwi bin Muhammad, dari Syaikh Muhammad bin Alwi,  dari Syaikh Alawi, dari Syaikh Abdullah, dari Syaikh Ahmad bin Isa, dari syaikh Isa, dari Syaikh Muhammad, dari Syaikh Ali al-Aridli, dari Syaikh Jakfar Shodiq, dari Syaikh Imam Muhammad Baqir, dari Syaikh sayyidina Zainal Abidin Ali, dari sayyidina Husain dan pamannya, Imam Hasan, keduanya dari Sayidina Ali, Sayidah Fatimah dan Rasulullah SAW. Sayidina Ali dan Fatimah mendapat dari Rasullullah r, beliau dari malaikat Jibril u dan malaikat dari Allah I.
Bab VI
Detik-Detik Terakhir

              Pada hari Kamis, 27 Ramadan 1132 H. penyakit yang diderita Imam Al-Haddad kambuh. Sejak itu, aktivitas sehari-harinya, seperti salat berjamaah di masjid dan mengajar tidak lagi bisa di laksanakan. Ketika menderita sakit keras, al-Haddad tidak memperkenankan tamu menemuinya. Hal itu dilakukan, sebab beliau tidak ingin menemui tamu dalam kondisi berbaring. “Sebenarnya aku tidak keberatan menerima kedatangan kalian, tapi aku tidak ingin menerima kalian dalam keadaan berbaring. Maka doakan saja diriku, aku akan berdoa untuk kalian,” ucap Imam al-Haddad kepada pelayannya, supaya disampaikan kepada tamu yang hendak bertemu.
              Suatu ketika, Imam al-Haddad pernah berkenan menerima para tamu yang berkumpul di depan dalemnya. Ketika mereka selesai berjabatan tangan dengannya, Imam al-Haddad berkata, “Katakan kepada mereka, "dengan hati".” Maksud perkataan Imam al-Haddad adalah bahwa ucapan selamat tinggal atau selamat jalan hendakanya disampaikan dengan hati bukan dengan berjabatan tangan.
              Setelah kejadian itu, Imam al-Haddad tidak pernah lagi berkenan menerima tamu kecuali orang-orang khusus. Ketika menderita sakit, Imam al-Haddad lebih banyak membaca Subhânal-Lâh Wa Bihamdihi Subhânal-Lâhil-Azhîm. Pada detik-detik kepergiannya, lisan Imam al-Haddad selalu melafalkan kata, "Ya Muhammad, Ya Ahmad.”
              Pada hari keempat puluh dari sakitnya, Imam al-Haddad wafat. Beliau wafat pada malam Selasa 7 Dzulqa'dah 1132 H. dikediamannya al-Hawi. Al-Haddad wafat saat berusia 88 tahun, 9 bulan, kurang 3 hari.

Rintik Air Mata
              Imam al-Haddad wafat pada malam hari. Tapi, seluruh keluarga sepakat untuk tidak memberitahukan kepada halayak ramai saat itu pula, mengantisipasi membludaknya pelayat. Sebab seandainya langsung diumumkan kepada halayak ramai bahwa Imam al-Haddad telah wafat, tentu pelayat akan segera membludak dan membanjiri dalemnya. Benar saja, ketika -pada waktu Subuh- keluarga besar al-Haddad mengumumkan kepulangan al-Haddad ke Rahmatulah di Masjid, halayak ramai langsung menyerbu dalemnya guna memberikan penghormatan terakhir kepada guru besar yang memiliki kontribusi besar dalam mencerdaskan bangsa.
              Tanpa terasa air mata mengalir bak turunya hujan. Suara isak tangis terdengar di sana sini. Hal itu menunjukkan kecintaan masyarakat kepada Imam al-Haddad.
              Selanjutnya, pada waktu Duha jenazah al-Haddad dimandikan oleh putrnya, Sayid Hasan dibantu oleh menantu-menantu Imam al-Haddad. Lalu, jenazahnya disalati pada waktu Asar. Kemudian dibawa ke tempat peristirahatan terakhir. Ketika keranda yang membawa jenazahnya beradda di tengah-tengah pelayat, maka mereka histeris berebut hendak memikul keranda Imam al-Haddad. Oleh karenanya, jenazah Imam al-Haddad baru sampai di tempat peristirahatan terakhirnya menjelang waktu Maghrib dan selesai dimakamkan setelah salat Maghrib.

Sekelumit Karomah Imam Al-Haddad
              Seseorang bercerita, suatu ketika pamanku kehilangan perhiasan dan uang Dirham. Dia berusaha mencarinya, tapi tak kunjung ditemukan. Lalu dia mengirim ayahku supaya minta pertolongan kepadImam al-Haddad. Mendengar penuturan ayahku, Imam Al-Haddad berkata, “Pulanglah sekarang! Pencurinya akan ditemukan bertepatan dengan kedatanganmu.” “Jalan menakutkan,” tukas ayahku. "Jangan takut! Pulanglah! Penjagamu berjalan di depanmu. Nanti engkau akan bertemu dengan pemilik kuda, berjalanlah dengannya,” kata Imam al-Haddad. Maka ayahku pulang. Sesampainya di suatu gunung. Syahdan, ayahku benar-benar bertemu dengan seorang pemilik kuda. Maka ayahku pulang bersamanya. Setibanya di rumah, ayahku duduk sejenak, tiba-tiba datang seorang perempuan mengabarkan keberadaan pencuri uang ayah. Padahal sebelumnya tak seorang pun yang tahu keberadaan si pencuri kecuali setelah kepulangan ayah dari dalem Imam al-Haddad.

Sang Wali Kutub
              Imam Al-Haddad termasuk salah satu wali al-Qutbu al-Ghauts. Beliau diangkat sebagai seorang wali sejak masih muda. Suatu ketika, Imam al-Haddad meminta kepada salah satu gurunya, Sayid al-'Ârif al-Kâmil Muhammad bin Alawi yang tinggal di Mekah -beliau adalah Shâhibul-waqti- untuk memakaikan baju kewalian. Namun Sayid Muhammad tidak menjawab permintaan muridnya lantaran masih menuggu isyarat dari Rasulullah r. Ketika Sayid Muhammad wafat, maka datanglah sebuah surat ke Tarim bahwa rahasia Sang guru berpindah kepada Imam al-Haddad. Sejak itu, Imam al-Haddad resmi dilantik sebagai pewaris wali. Konon, saat itu Imam al-Haddad masih berumur dua puluh tahun. Dengan demikian, Imam al-Haddad menjabat sebagai wali kutub selama enam puluh tahun.

Karya Al-Haddad
              Di sela-sela kesibukannya, berdakwah dan menyebarkan ilmu agama, Imam al-Haddad juga menyisihkan sebagian waktunya untuk menuliskan ilmu pengetahuannya dalam bentuk kitab. Imam Al-Haddad termasuk ulama produktif, di antara karyanya, Kitâbun-Nâshâ’ih ad-DîniyyahKitâbud-Dakwah at-TammahSabîlul-Adzkar Wal I’tibârIththihaf as-Sâ’ilFushûlul-IlmiyyahRisâlatul-Mu'âwanahRisâlatul-Murîd al-Makhshush min Rabbihil-Hâmid al-Majîd bit Ta’yîd wat Tasdîd dan Risâlatul-Mudzâkarah, Kitâbul-Majmû’.

Hasiat Ratibul Haddad
o    Mendapatkan pahala seperti orang yang memerdekakan hamba sahaya dari keturunan nabi Isma’il
o    Menjadi  benteng  pemisah antara hamba dengan api Neraka.
o    Allah r menjadikan keterbukaan dari setiap problema dan memberinya jalan keluar dari segala kesempitan serta akan dianugerahi rezeki dari arah yang tak diduga-duga.
o    Paling dekat dengan Rasulullah r kelak di hari Kiamat.
o    Selamat dari bahaya apapun.
o    Melumpuhkan dan menaklukan musuh
o    Sebagai benteng rumah dan isinya dari pencuri dan orang jahat
o    Mewajibkan  masuk surga
o    Melebur dosa
o    Menyembuhkan was-was.
o    Aman dan selamat dari gangguan orang-orang jahat dan zalim serta perbuatan jahat manusia.
o    Membawa maslahat dan kebaikan segala urusan umat Islam
o    Allah r akan menghapuskan kesedihannya.
o    Menjadikan jiwa tenang.

o    Mempercepat kesuksesan dan menambah cahaya hati.



Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post