Hakikat Tabarruk

Berkah adalah datangnya kebaikan atau bertambahnya kebaikan. Tabarrukan berarti mencari kebaikan yang banyak[1]. Berkah hanya milik Allah swt.. Allah berhak memberikannya kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Tabarruk (mencari berkah) sudah dilakukan oleh ulama salaf, para sahabat, bahkan Rasulullah saw.. Cerita-ceritanya bertebaran di berbagai kitab hadis. Insyaallah, pada tulisan-tulisan selanjutnya akan disajikan cerita-cerita mereka yang ber-tabarruk. Mulai mencari berkah dari selendang Rasulullah, rambut Rasulullah, peninggalan-peninggalan (atsar) Rasullah, dan seterusnya.


Setidaknya, ada tiga hal yang bisa dicari berkahnya (di-tabarruk). Pertama, seseorang, seperti Rasulullah. Kedua, atsâr (peninggalan), seperti rambutnya Rasulullah. Ketiga, tempat, seperti gua hira’. Mencari berkah dari tiga hal tersebut bukan berarti menuhankannya. Ketiga hal itu hanya wasilah, perantara saja. Sedangkan yang memberi berkah (kebaikan) hanyalah Allah swt..

Misalnya, tabarrukan (mencari berkah) pada Rasulullah atau pada seorang ualama. Bukan berarti Rasulullah atau ulama itu bisa memberi kebaikan atau kejelekan. Tidak. Sebab, pemberi sesungguhnya hanya Allah. Rasulullah dan ulama itu hanya pelantara antara pencari berkah dan Allah swt.. Karena Rasulullah dan ulama adalah orang yang dekat dengan Allah.

Misalnya, tabarrukan (mencari berkah) pada (atsar) peninggalan. Para pencari berkah harus yakin bahwa peninggalan itu tidak ada apa-apanya. Tidak bisa memberi menfaat, juga tidak bisa memberi mudhorot. Akan tetapi, karena atsar itu adalah peninggalan orang yang dekat dengan Allah, kita menjadikannya perantara. Semoga saja, Allah memberikan kebaikan dengan sebab peninggalan itu.

Contoh kecilnya, Sayyidina Khalid menyelipkan rambut Rasulullah di songkoknya. Dia mengharapkan kemenangan berkah rambut Rasulullah itu. Akhirnya, Allah benar-benar membuatnya selalu menang di medan pertempuran. Yang membuat Sayyidina Khalid menang, tetaplah Allah. Rambut Rasulullah hanya wasilah saja.

Atau tabarrukan pada tempat. Sama saja. Sebuah tempat tidak bisa memberikan kebaikan atau kejelekan. Tampat bisa menjadi mulia karena pernah ditempati oleh sesuatu yang baik. Misalnya tempat itu pernah ditempati sholat, puasa, atau ibadah-ibadah lain oleh orang-orang yang sholeh.  Maka kita mencari berkah di tempat itu, karena mengharap mendapatkan hal yang sama dengan apa yang didapatkan orang-orang sholeh sebelumnya[2].

Begitulah. Tabarrukan bukan menuhankan ciptaan Tuhan. Tapi, menjadikannya perantara. Semoga saja Allah memberikan kita kebaikan disebabkan ciptaan Allah itu. Sama dengan meminum obat. Obat tidak bisa menyembuhkan. Tapi, kita berharap Allah menyembuhkan kita dengan perantara obat itu. Atau kita makan. Memakan makanan tidak membuat kita kenyang. Sebab, yang mengennyangkan hanyalah Allah. Kita makan sebagai pelantara agar Allah membuat kita kenyang[3].

Jadi, tidak bisa seseorang yang mencari berkah itu dikatakan syirik atau kafir. Tidak bisa. Sebab, mencari berkah itu bukan menyekutukan Allah. Andai mencari berkah itu syirik, orang yang minum obat juga syirik. Orang yang makan juga syirik. Yang menyembuhkan kan Allah, kenapa minum obat? Yang mengenyangkan kan Allah, kenapa makan?

________

Sumber Foto: dafaorganizer-solo.blogspot.co.id


[1] Al-Idrisiyah, Khadijah, al-Barakah Wa at-Tabarruk Min Dzahabiyyât al-Hâfidz ad-Dzahabî, hal : 07, Percetakan Prbadi Penulis.
[2] Al-Maliki, Sayyid Muhammad, Mafâhîm Yajibu An Tushohhah, hal: 232, Haiah Shofwah.
[3] Al-Idrisiyah, Khadijah, al-Barakah Wa at-Tabarruk Min Dzahabiyyât al-Hâfidz ad-Dzahabî, hal : 09, Percetakan Prbadi Penulis.

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda....!

Previous Post Next Post