Sebelum
Islam datang, orang Arab bangga-banggaan dengan nasabnya. Mereka merasa mulia jika nenek moyang mereka
mulia. Ketika Islam datang, fanatisme itu dikikis habis. Islam mengajarkan
derajat manusia hanya dinilai dari takwanya kepada Allah saw.. Jika bertakwa
maka mulia dan sebalilknya. Maka tak heran, ketika perang Badar meletus, para
sahabat harus berhadapan dengan sanak keluarganya. Mereka saling membunuh: anak
membunuh ayah, saudara membunuh saudara dan setersunya.
Di
antara sahabat yang terpaksa mengayunkan pedang untuk ayahnya sendiri adalah
Abu Ubaidah bin Jarrah. Pengalaman teragis itu terjadi pada perang Badar. Waktu
itu, Abdullah bin al-Jarrah, ayah Abu Ubaidah berangkat dari Makkah untuk
menyerang muslimin. Muslimin pun
bersiap-siap untuk menghadapi mereka. Kedua
kubu pun bertemu di Badar dan terjadi peperangan dahsyat. Pada perang itu,
Abdullah mencari anaknya, Abu Ubaidah untuk dibunuh. Tapi, Abu Ubaidah berusaha
menghindar. Hatinya tidak kuat jika harus membunuh ayah sendiri. Dia tidak tega
menebaskan pedang tajam pada orang yang telah mengasihininya sejak kecil.
Sungguh, biar bagaimanapun Abdullah adalah ayahnya. Seorang yang telah
mencintai sepenuh hati. Orang yang membesarkannya dengan senyum kasih sayang yang
tak bertepi.
Perang
pun terus berlaurt. Dentingan pedang terdengar sangat keras. Abdullah terus
memburu anaknya. Terpaksa, Abu Ubaidah harus menghadapi sang ayah. Islam adalah
harga mati. Siapapun yang mencoba memadamkan api Islam harus diberantas. Maka,
dengan gagah berani, Abu Ubaidah berduet dengan ayah tercinta. Kilatan pedang
tampak saling menyabet. Dan akhirnya, Abdullah tersungkur. Pedang Abu Ubaidah
berhasil merenggut nyawa ayahnya.
Setelah
itu, turunlah ayat, “Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah
orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa
puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”(al-Mujadalah; 22)[1].
[1] An-Nisaburi,
Muhammad bin Abdullah Abu Abdullah al-Hakim, al-Mustadrak Alâ as-Shahihain,
Juz: 3, hal: 296, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut.
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!