Akhir-akhir
ini banyak yang keberatan dengan sebutan “Kafir”. Istilah “Kafir” tidak relevan
di Indonesia. Orang Islam Indonesia tidak usah nyebut kofar-kafir. Sebab,
Indonesia adalah negara Republik yang berdasar Pancasila. Setiap warga
Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada yang nomer dua.
Sejenak,
pendapat itu benar. Dan, tidak perlu diperdebatkan apa lagi diributkan. Tulisan
ini juga bukan menanggapi pendapat itu. Cuma sekedar nyeloteh saja. Isinya
ingin mengulas apa itu “Kafir”, dan bagaimana kita meng-empelementasinya dalam
ke-Indonesiaan. Yah, cuma nyumbang pendapat saja. Biar beragam. Dan,
untuk mengisi kebebasan berpendapat. Jika salah, maafkan saya !
Apa itu Kafir?
Sebenarnya,
pengertian istilah “Kafir” itu simpel. Tidak rumit. Yang bukan Muslim, ya
Kafir. Itu saja. Namun, penulis akan menjelentrehkan sebagian pendapat para ulama
apa itu “Kafir”. Imam ar-Razi, dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib,
mengatakan tidak mudah bagi mutakallimin (pemikir Islam) untuk
mendifinisakan “kufur (Kafir)”. Kesimpulan dari penjabaran beliau bahwa yang
dimaksud “Kufur (Kafir)” adalah orang yang tidak percaya pada apa-apa yang
dibawa Rasulullah yang bisa diketahui keabsahannya bid-darurah. Seperti
tidak percaya adanya Pencipta, tidak percaya kenabian Nabi Muhammad, tidak
percaya keabasahan al-Quran dan seterusnya.
Adapun
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, al-Fath al-Mubin, lebih
memperjelas lagi. Menurut beliau, orang yang ber-rukun iman dan ber-rukun Islam
maka dikatkan mu’min kamil (sempurna). Apa bila tidak ber-rukun Iman dan tidak
ber-rukun Islam maka dikatakan Kafir Kamil.
Dari
dua pemaparan di atas, dapat kita fahami bahwa yang disebut “Kafir” adalah
orang yang tidak beriman kepada Allah, tidak percaya kepada Nabi Muhammad saw.,
dan pada apa-apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.. Karenanya, orang yang
memenuhi kereteria tersebut, siapapun, kapanpun dan dimanapun maka disebut
“Kafir”.
“Kafir”
adalah istilah dalam Islam untuk non-Muslim. Dan, non-Muslim tidak usah marah.
Sebab, istilah “Kafir” adalah tauqifi (langsung dari Allah) dan banyak
disebut dalam al-Quran maupun Hadis. Bahkan, salah satu surat al-Quran bernama
“al-Kafirun”. Istilah Kafir dalam Islam sama dengan istilah “Domba-domba
tersesat” dalam Kristen, “Maitrah” dalam agama Hindu, dan “Abrahmacariyausa”
dalam agama Budha. Jadi, setiap agama memiliki sebutan tersendiri untuk
orang-orang yang di luar agama mereka.
Tidak Usah Marah dengan Istilah
Sebagaimana
yang kita yakini, Indonesia adalah negara demokrasi. Indonesia miliki bersama.
Bukan milik A, bukan milik golongan B. Semua warga Indoneisa memiliki kewajiban
yang sama untuk membangun Indonesia. Hal itu sebagaiamana amanah Bapak-Bapak
bangsa yang telah mendirikan negeri ini.
Hal
yang paling urgen untuk kita bahas dalam masalah ini, di Indonesia setiap warga
memiliki kebebasan untuk menjalankan agamanya. Baik muslim, Kristen, Hindu, dan
tiga agama yang telah diakui di Indonesia. Karenanya, siapapun tidak boleh
mengusik-ngusik pemeluk agama lain saat menjalankan ajaran agamnya. Siapapun
tidak boleh marah jika orang Kristen mengatakan “Domba-domba yang tersesat”.
Siapapun tidak boleh marah jika orang Hindu mengatakan, “Maitrah”. Dan,
siapapun tidak boleh marah jika orang-orang Islam mengatakan “Kafir”. Bukankah
di Indonesia kita memiliki kebebasan menjalankan agama?
Begitu
juga misalnya ada orang Islam memilih pemimpin Muslim, yang non-Muslim jangan marah.
Sebab dalam hukum Islam (Fikih), syarat pemimpin harus muslim. Begitu juga jika
ada orang beragama Budha misalnya memilih pemimpin beragama Budha, maka yang
non-Budha jangan marah. Biarkan mereka memilih sesuai hati dan keyakinan.
Bukankah Indonesia adalah negeri demokrasi?
Lagi,
memaksa umat Islam Indonesia untuk membuang istilah “Kafir” adalah pengebirian
terhadap jati diri Islam. Sama juga memaksa umat Kristen untuk tidak memakai
istilah “Domba-doma yang tersesat” adalah pengebirian pada jati diri mereka.
Maka, alangkah indahnya jika setiap agama di Indonesia berjalan sesuai ajaran
masing-masing. Tidak usah dikerdilkan dengan dalih ke-Bhinekaan.
Contoh
kecilnya, jika kita punya bebek dan ayam. Kita harus adil memperlakukan mereka.
Habitat bebek hidup di air. Bisa berenang dan lain sebagainya. Sedangkan ayam
sebaliknya. Maka biarkan mereka hidup sesuai habitatnya. Kalau diambil jalan
tengah, misalnya disediakan air untuk porsi bebek. Namun, airnya sangat dangkal
karena dalam air itu juga ada ayam. Kira-kira bebek dan ayam mendapatkan
haknya? Dan, apakah jika harus sama ke-Bhinekaan masih ada?
Bersama Membangun Negara
Dalam
Islam, cara bermuamalah dengan orang kafir sudah diatur sedemikian rupa. Konsep
toleransi dalam Islam sudah sempurna. Silahkah umat Islam berdampingan dengan
kafir, berteman dan bergaul. Asal dengan satu syarat, yaitu bukan dalam masalah
akidah. Kalau dalam masalah akidah, umat Islam tidak diperkenankan sama sekali
bertoleransi. Misalnya, umat Islam menyembah Tuhannya orang Kristen atau agama
lain dengan alasan toleransi. Tidak boleh.
Pun
pula, dalam sejarah sudah terbutki bagaiaman umat Islam menjalankan toleransi
dengan baik. Rasulullah membiarkan kaum Yahudi hidup di Madinah, Sayyidina Umar
tidak menghancurkan gereja ketika berhasil menaklukkan Yerussalem. Juga, kafir di
Indonesia hidup aman-aman saja. Beda jika yang berkuasa adalah kafir. Maka,
orang Islam dibantai habis-habisan. Pada perang Salib, ketika Yerussalem jatuh
di tangan pasukan Salib, orang Islam dibantai, sampai-sampai di Masjid Aqsa
banjir darah se-mata kaki. Contoh terupdate, di Burma. Bagaiman umat Islam
Rohignya dibantai hanya karena mreka muslim. Atau di Palestina. Berapa juta
nyawa umat Islam yang melayang ?
Dalam
Islam, kafir masih dianggap saudara. Saudara se-manusia. Sama-sama manuisanya. Mbah
Sahal kemudian merumuskan persaudaraan menjadi tiga. Persaudaraan Islam,
Persaudaraan tanah air, dan persaudaraan kemanusiaan.
Dengan
tiga konsep persaudaraan ini, kita bisa memahami bahwa kita tidak usah
bermusuhan. Sebab kita bersudara. Kalau tidak bersaudara dalam agama (Islam),
kita masih bersaudara dalam negara. Sama-sama warga Indonesia, misalnya. Jika
kita tidak sebangsa, kita masih saudara dalam kemanusiaan. Kita sama-sama
manusia.
Maka,
sesuai komitmen bersama, sesama warga Indonesai harus sama-sama berusaha
memajukan negara. Baik itu Muslim, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan
Konghucu. Sebab, kita bersaudara. Sebangsa dan setanah air. Tentu, tanpa
menghilangkan jati diri masing-masing agama. Biarkan agama berjalan seusai
ajarannya. Biarkan jargon “Bhenika Tunggal Ika” tetap melekat dalam “dada”
Indonesia.
Wallahu
A’lam
@
ReplyDeletePost a Comment
Tinggalkan komentar anda....!