Suatu ketika, Sayyidina Umar bin Khattab
berkunjung ke Himsh, sebuah kota yang ada di Syiria. Beliau ingin mengetahui kinerja
gubernur beliau, Sa’id bin Amir. Beliaupun kemudian bertanya kepada masyarakat,
“Wahai penduduk Himsh, bagaiman gubernur kalian?” Mendapat pertanyaan seperti
itu, mereka mengadukan empat tuntutan kepada sang khalifah.
Agar masalah cepat selesai, Sayyidina Umar
memanggil Sa’id bin Amir. Beliau tempatkan Sa’id di depan masa. Setelah itu,
beliau mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengungkapkan keluhan mereka.
“Ayo, apa yang kalian keluhkan dari gubernur
kalian?” Sayyidina Umar membuka persidangan itu.
“Dia tidak keluar kepada kita sehingga matahari
meninggi.” Keluh penduduk Himsh.
Sayyidina Umar melihat pada Sa’id. “Apa
jawabanmu?” tanya Sayyidina Umar.
“Sesungguhnya, saya tidak mau mengungkapkan
ini. Saya tidak punya pelayan. Saya harus membuat adonan sendiri dan mebuat
roti sendiri. Setelah itu, saya berwudu. Lalu keluar untuk mengabdi pada
masyarakat.” Jawab Sa’id dengan tenang. Masyarakat Himsh terdiam.
“Apa yang kalian keluhkan lagi?” Sayyidina Umar
bertanya lagi.
“Dia tidak menerima siapapun pada waktu malam.”
Kata Masyarakat Himsh.
“Apa jawabanmu?” Sayyidina Umar
menengah-nengahi.
“Sesungguhnya saya tidak mau memberitahukan
masalah ini. Saya tidak menemui mereka pada waktu malam, karena saya menjadikan
waktu siang untuk mereka, sedangkan waktu malam hanya untuk beribadah kepada Allah
swt..” Lagi-lagi masyarakat Himsh hanya terdiam.
“Apa yang kalian keluhkan lagi?”
“Setiap bulan pasti ada satu hari dia tidak
keluar rumah untuk kita.”
“Apa tanggapanmu?” Sayyidina Umar bertanya
kepada Sa’id.
“Saya tidak punya pelayan untuk mencuci. Saya
juga tidak punya baju lagi untuk ganti. Jadi, ketika baju ini saya cuci, saya
menunggu sampai kering. Kemudian, saya keluar pada mereka di akhir siang.”
“Apa lagi yang kalian keluhkan?”
“Dia sering pingsan.” Jawab Masyarakat Hims
serentak.
“Apa alasanmu?” Tanya Sayyidina Umar pada
Sa’id.
“Dulu, saya menyaksikan Sahabat Khubaib
al-Ansari disiksa di Makkah. Orang-orang kafir mengiris-iris dagingnya. Mereka bertanya
kepada dia, “Apakah kau senang jika Muhammad ada di posisimu?” Khubaib
menjawab, “Demi Allah, saya tak rela jika satu duri pun menyakiti Nabi Muhammad
saw., sedangkan saya tenang-tenang saja dengan keluarga.” Kemudian, Khubaib
menjerit, “Wahai Muhammad.” Setiap kali saya mengingat kejadian itu, saya menganggap
Allah tidak akan mengampuni saya selamanya. Saya telah membiarkan Sahabat
Khubaib disiksa. Saya juga belum beriman pada kala itu. Sehingga saya pun
pingsan.”
“Segala
puji bagi Allah yang tidak melemahkan firasatku.” Lirih Sayyidina Umar setelah mendapat
keterangan yang sebenarnya dari Sa’id.
Setelah kembali ke Madinah, Sayyidina Umar
mengirimkan uang 1000 dinar pada Sa’id untuk kebutuhan hidupnya. Tapi, uang itu
dibagi-bagikan kepada orang yang lebih membutuhkan; Kepada janda-janda, kepada
anak yatim, kepada orang miskin, dan kepada orang-orang yang terkena cobaan.
Yang tersisa hanya emas yang sangat sedikit.
Disadur dari kitab Hayat as-Shohabah, karangan
Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi.
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda....!